BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam, dengan sangat terang menegaskan, bahwa kewajiban
setiap ayah untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Allah
berfirman: “Dan menjadi kewajiban para ayah, untuk memberi makanan dan
pakaian kepada istri dan anak-anaknya” (QS. Al-Baqarah:233).
Adapun bagi para ibu, tidak ada kewajiban
baginya untuk menafkahi keluarga. jika kemudian pada perkembangannya para ibu
bekerja untuk membantu tugas para ayah memenuhi kebutuhan keluarga dengan tetap
menjaga kehormatan diri ketika keluar rumah, ia akan diberi pahala shadaqah
atas apa yang diberikannya.
Allah sangat menghargai
setiap nafkah yang diberikan kepada keluarga. Bahkan, menjanjikan pahala yang
lebih besar dari infaq untuk fi
sabilillah sekalipun. Padahal,
Allah sendiri yang menyatakan bahwa orang yang menginfakkan harta untuk fi sabilillah akan dibalas kebaikan dengan tujuh
ratus kali lipatnya (QS. Al-Baqarah:261).
Rasulullah saw. bersabda
طَلَبُ الحَلاَلِِ
فَرِضَة عَلى كُلِّ مُسْلِمٍٍٍ
(رواه ابن مسعود رضى الله عنه)
Artinya:
“mencari yang halal itu adalah wajib bagi setiap
orang Islam.”
(HR.Ibnu
Mas’ud)
Kewajiban mencari yang halal ini dari seluruh
kewajiban agama, adalah yang paling sulit untuk fikran memahaminya, dan yang
paling dan yang paling berat untuk anggota melaksanakannya. Dari itu hilanglah
ia secara keseluruhan di bidang ilmu dan amal.
Lenyapnya
dibidang ilmu, menyebabkan pula tak ada pedoman beramal, sehngga orang-orang
yang bodoh menganggap bahwa yang sebenarnya halal tdak ada, dan jalan menuju
rezeki yang halal ini adalah tertutup. Rezeki yang halal dan baik, tiada lain
kecual air sungai furat dan rumput belukar yang tumbuh di hutan. Sedangkan yang
lain dar itu dikotorkan oleh tangan-tangan jahil, dan dirusakkan oleh jual beli
yang fasid (batal).
Apabila
tidak mungkin memadamkan dengan memaka rumput-rumput belukar, maka tidak ada
jalab lain lagi kecuali menerobos bidang yang haram. Mereka meniadakan sama
sekali bidang yang dihalalkan agama, dan tak mau membedakan dan member batasan
dari kebenaran, karena bukankah: “Apa-apa yang halal itu sudah jelas dan
apa-apas yang haram itupun sudah jelas pula, sedang diantara kedua perkara itu
ada beberapa hal yang syubhat (serupa yakni bentu halal haramnya)”. Ketiga
corak ni adalah sambung bersambung, kebidang manapun jua dibawa.
Untuk
menilai kehalalan atau keharaman nafkah, paling tidak dapat dilihat dari tiga
sisi:
1. Wujudnya/zatnya. Dari sisi wujud
atau zat, nafkah yang halal adalah nafkah yang tidak termasuk dalam kategori
makanan atau minuman yang diharamkan oleh syariat, seperti daging babi, darah,
bangkai, khamr (minuman yang memabukkan) dan lain-lain.
2. Sumber
atau cara memperolehnya. Nafkah yang halal merupakan nafkah yang diperoleh
dengan cara-cara yang direstui syariat, dan tidak dengan cara yang diharamkan.
Cara-cara yang diharamkan, di antaranya, nafkah dari hasil menipu, transaksi
riba, korupsi dan mencuri.
3. Tidak
bercampur dengan harta (hak milik) orang lain. Dalam arti, telah dikeluarkan
shadaqahnya. Baik shadaqah wajib (Zakat) maupun sunnah (infak). Firman Allah: “Dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang-orang miskin yang meminta-minta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian” (Qs.
Ad-Dzariat:19).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan
kepada kita dalam banyak hadits, urgensi mencari rezeki yang halal ini. Dalam
sebuah hadits dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda (artinya): Tidak ada satu pun amalan
yang mendekatkan kalian ke surga, melainkan telah aku perintahkan kalian
kepadanya. Dan tidak ada satu pun amalan yang mendekatkan kalian ke neraka, melainkan
aku telah melarang kalian darinya. Janganlah kalian menganggap rezeki kalian
terhambat. Sesungguhnya, Malaikat Jibril telah mewahyukan ke dalam hati
sanubariku, bahwa tidak ada seorang pun meninggalkan dunia ini, melainkan
setelah sempurna rezekinya. Bertakwalah kamu kepada Allah, wahai sekalian
manusia. Carilah rezeki dengan cara yang baik. Jika ada yang merasa rezekinya
terhambat, maka janganlah ia mencari rezki dengan berbuat maksiat, karena
karunia Allah tidaklah di dapat dengan perbuatan maksiat. [HR Al Hakim dan
selainnya].
Islam juga memandang bahwa bekerja merupakan satu kewajiban bagi setiap insan. Karena dengan bekerja, seseorang akan memperoleh penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan juga keluarganya serta dapat memberikan maslahat bagi masyarakat di sekitarnya. Oleh karenanya Islam bahkan mengkategorikan bekerja sebagai ibadah, yang diperintahkan oleh Allah SWT :
Islam juga memandang bahwa bekerja merupakan satu kewajiban bagi setiap insan. Karena dengan bekerja, seseorang akan memperoleh penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan juga keluarganya serta dapat memberikan maslahat bagi masyarakat di sekitarnya. Oleh karenanya Islam bahkan mengkategorikan bekerja sebagai ibadah, yang diperintahkan oleh Allah SWT :
“Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka
Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan
kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan".
Dari Ka'ab bin Umrah berkata, "Ada seseorang yang berjalan
melalui tempat Rasulullah SAW. Orang itu sedang bekerja dengan sangat giat dan
tangkas. Para sahabat lalu berkata, 'Ya Rasulullah, andaikata bekerja seperti
dia dapat digolongkan fi sabilillah, alangkah baiknya.' Lalu Rasulullah
bersabda, 'Jika ia bekerja untuk mengidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu
adalah fi sabilillah; Jika ia bekerja untuk membela kedua orang tuanya yang
sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; dan jika ia bekerja untuk
kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, maka itu adalah fi
sabilillah... (HR. Thabrani)
Riwayat-riwayat di atas sudah lebih
dari cukup bagi seorang mu'min untuk menjadi motivator dalam bekerja,
terlebih-lebih bekerja di Lembaga Keuangan Syariah, yang memiliki visi untuk
merealisasikan syariat Allah di muka bumi ini. Oleh karenanya seorang muslim
yang baik adalah yang bekerja dengan penuh kesungguhan dan ketekunan. Karena
selain mendapatkan penghasilan untuk kehidupan dunianya, ia juga mendapatkan
beribu kebaikan untuk kehidupannya di akhirat kelak.
Seorang insan minimal sekali diharuskan untuk dapat
memberikan nafkah kepada dirinya sendiri, dan juga kepada keluarganya.
Dalam Islam terdapat banyak sekali ibadah yang tidak
mungkin dilakukan tanpa biaya & harta, seperti zakat, infak, shadaqah,
wakaf, haji dan umrah. Sedangkan biaya/ harta tidak mungkin diperoleh tanpa
proses kerja. Maka bekerja untuk memperoleh harta dalam rangka ibadah kepada
Allah menjadi wajib. Kaidah fiqhiyah mengatakan : “Suatu kewajiban yang tidak
bisa dilakukan melainkan dengan pelaksanaan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya
wajib.”
Keutamaan
(Fadhilah) Bekerja Dalam Islam Orang yang ikhlas bekerja akan mendapatkan
ampunan dosa dari Allah SWT. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
Barang
siapa yang sore hari duduk kelelahan lantaran pekerjaan yang telah
dilakukannya, maka ia dapatkan sore hari tersebut dosa-dosanya diampuni oleh
Allah SWT. (HR. Thabrani)
Akan diampuninya suatu dosa yang tidak dapat diampuni
dengan shalat, puasa, zakat, haji & umrah. Dalam sebuah riwayat dikatakan :
‘Sesungguhnya diantara dosa-dosa itu, terdapat
satu dosa yang tidak dapat dihapuskan dengan shalat, puasa, haji dan umrah.’
Sahabat bertanya, ‘Apa yang dapat menghapuskannya wahai Rasulullah?’ Beliau
menjawab, ‘Semangat dalam mencari rizki.’ (HR. Thabrani)
Mendapatkan ‘Cinta Allah SWT’. Dalam
sebuah riwayat digambarkan :
Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mu’min
yang giat bekerja. (HR. Thabrani)
Terhindar dari azab neraka.
Dalam
sebuah riwayat dikemukakan, "Pada suatu saat, Saad bin Muadz Al-Anshari
berkisah bahwa ketika Nabi Muhammad SAW baru kembali dari Perang Tabuk, beliau
melihat tangan Sa'ad yang melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman karena
diterpa sengatan matahari. Rasulullah bertanya, 'Kenapa tanganmu?' Saad
menjawab, 'Karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah
keluarga yang menjadi tanggunganku." Kemudian Rasulullah SAW mengambil
tangan Saad dan menciumnya seraya berkata, 'Inilah tangan yang tidak akan
pernah disentuh oleh api neraka'" (HR. Tabrani)
B. Metode
Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam
penyelesaian makalah ini melalui pemgumpulan data dengan alat bantu dari
beberapa buku dan artikel-arikel di internet
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan dibuatnya makalah tentang Kewajiban
memberi nafkah halal dan baik dan bekerja giat dan keseimbangan dunia akhirat
diantaranya sebagai berkut:
1. merupakan salah satu tugas kelompok yanag
diberikan oleh dosen pembimbing.
2. agar mahasiswa dan mahasiswi didik dapat mengetahui dan memahami lebih jelas tentang
konsep makanan halal dan bekerja giat sesuai dengan ajaran agama Islam
3. Mahasiswa dapat mempelajari dari makalah ini dan
kemudian menerapkannya dalam menjalani kehidupan bebangsa da bernegara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Memberi Nafkah
Yang Baik
Makanan yang halal dan thayyib, hal ini karena ulama
ahli tafsir, misalnya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa keberkahan dari langit dan
bumi sebagaimana yang disebutkan dalam firman surat Al A’raf: 96 di atas adalah rizki yang
diantara rizki itu adalah makanan. Yang dimaksud makanan yang halal adalah
disamping halal jenisnya juga halal dalam mendapatkannya, sehingga bagi orang
yang diberkahi Allah, dia tidak akan menghalalkan segala cara dalam memperoleh
nafkah. Di samping itu, makanan yang diberkahi juga adalah yang thayyib, yakni
yang sehat dan bergizi sehingga makanan yang halal dan tayyib itu tidak hanya
mengenyangkan tapi juga dapat menghasilkan tenaga yang kuat untuk selanjutnya
dengan tenaga yang kuat itu digunakan untuk melaksanakan dan menegakkan
nilai-nilai kebaikan sebagai bukti dari ketaqwaannya kepada Allah Swt, Allah
berfirman yang artinya: Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang
telah Allah rizkikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya(QS 5:88).
Namun
demikian, seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anaknya dengan nafkah
yang halal. Jika seorang anak (anak laki-laki) telah berusia baligh, maka ia
diwajibkan menghidupi dan mengurusi dirinya sendiri. Sebab, ia telah menjadi
seorang mukallaf yang diberi beban untuk melaksanakan seluruh perintah Allah
secara mandiri, termasuk menafkahi dirinya sendiri. Akan tetapi, jika ia tidak
mampu dan miskin, maka orang tua wajib memberi nafkah kepadanya.
Adapun jika ia adalah anak
perempuan; maka kewajiban memberi nafkah orang tua gugur, jika anak wanita
tersebut telah menikah. Nafkah yang diperoleh dari jalan yang sesuai dengan Al
Quran. Allah SWT telah berfirman:
“Makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal
yang saleh.” (QS. Al Mu’munun:
51)
Dalam ayat
diatas kta diperintah untuk makan dari apa-apa yang baik saja. Mengenai apa-apa
yang baik-baik itu dkatakan yakni apa-apa yang halal, sebab apa-apa yang haram
tu tentulah tidaak baik namanya.
Allah
SWT berfirman:
“Maka
makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu;
dan syukurilah ni`mat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS. al-Nahl [16]: 114).
Imam al-Baghawi, dalam tafsir al-Baghawiy,
menyatakan, “Menurut ‘Abdullah ibn al-Mubarak, yang dimaksud halal adalah
semua rejeki yang diperoleh berdasarkan tuntunan Allah SWT.” (al-Baghawi, Tafsír al-Baghawiy, juz 2,
hal. 59; lihat juga Imam asy-Syaukani, Fath al-Qadír, juz 2, hal.
70).
Imam
Muslim meriwayatkan
sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
“Wahai
manusia, sesungguhnya Allah tidak akan menerima sesuatu kecuali yang baik
(thayyib), dan sesungguhnya Allah memerintahkan kaum mukmin sebagaimana halnya
Ia memerintah para Rasul. Kemudian, Ia berfirman, ‘Wahai para Rasul, makanlah
dari rejeki yang baik-baik, dan berbuat baiklah kalian. Sesungguhnya Aku
Mengetahui apa yang engkau ketahui.’ Selanjutnya, beliau bercerita tentang
seorang laki-laki yang berada di dalam perjalanan yang sangat panjang, hingga
pakaiannya lusuh dan berdebu. Laki-laki itu lantas menengadahkan dua tangannya
ke atas langit dan berdoa, ‘Ya Tuhanku, Ya Tuhanku…’, sementara itu makanan
yang dimakannya adalah haram, minuman yang diminumnya adalah haram, dan pakaian
yang dikenakannya adalah haram; dan ia diberi makanan dengan makanan-makanan
yang haram. Lantas, bagaimana mungkin doanya dikabulkan?”(HR. Muslim)
Dari
seluruh uraian di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwasanya seseorang tidak
boleh memberi nafkah keluarganya dengan nafkah yang haram. Sebaliknya, seorang
muslim dilarang menerima dan mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh Allah
swt. Atas dasar itu, seorang anak yang sudah akil baligh mesti menolak nafkah
dari orang tua jika ia tahu bahwa nafkah tersebut berasal dari jalan yang
haram; misalnya hasil hutang yang mengandung riba. Ia harus berusaha dengan
dirinya sendiri, dan menjauhi mengkonsumsi barang-barang yang diharamkan oleh
Allah SWT. Sebab, keberkahan hidup seseorang sangat tergantung dari makanan
yang dimakannya. Namun jika ia tidak tahu bahwa nafkah yang diberikan orang tua
tersebut berasal dari usaha haram, maka hukumnya dimaafkan.
Pada dasarnya, orang tua
tidak boleh melibatkan diri dengan riba dengan alasan; kalau tidak pinjam di
bank maka pendidikan anaknya akan ketinggalan, dan sebagainya. Jika ia tidak
mampu menyekolahkan anaknya di pendidikan-pendidikan formal, ia bisa menempuh
jalan lain dengan cara menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah yang murah
dengan kualitas yang tidak rendah. Bisa juga ia mendidik anaknya untuk mandiri
sejak kecil, hingga anak bisa menafkahi dirinya sendiri, dan berfikir secara
mandiri. Masih banyak jalan yang bisa dilakukan agar anak tidak ketinggalan
dalam pendidikannya. Yang jelas, orang tua tidak boleh menceburkan atau
melibatkan dirinya dalam perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh syariat Islam.
Jika orang tua menafkahi anaknya dengan jalan haram, sesungguhnya ia tidak
sedang mencintai anaknya, akan tetapi justru menjerumuskan anaknya ke lembah
ketidakberkahan.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menekankan agar umatnya mencari harta yang
halal. Karena harta Pasalnya, ada dua pertanyaan yang terarah berkaitan dengan
harta itu, tentang asal harta dan bagaimana membela sesuai sabda nabi SAW
"Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat, sampai ia ditanya tentang empat perkara. (Yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang jasadnya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya darimana ia mendapatkannya dan kemanakah ia meletakkannya, dan tentang ilmunya, apakah yang telah ia amalkan". (HR At Tirmidzi dan Ad Darimi).
"Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat, sampai ia ditanya tentang empat perkara. (Yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang jasadnya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya darimana ia mendapatkannya dan kemanakah ia meletakkannya, dan tentang ilmunya, apakah yang telah ia amalkan". (HR At Tirmidzi dan Ad Darimi).
Ketiga, berkah dalam soal waktu yang cukup tersedia dan
dimanfaatkannya untuk kebaikan, baik dalam bentuk mencari harta, memperluas
ilmu maupun memperbanyak amal yang shaleh, karena itu Allah menganugerahi
kepada kita waktu, baik siang maupun malam dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam
setiap harinya, tapi bagi orang yang diberkahi Allah maka dia bisa memanfaatkan
waktu yang 24 jam itu semaksimal mungkin sehingga pencapaian sesuatu yang baik
ditempuh dengan penggunaan waktu yang efisien. Sudah begitu banyak manusia yang
mengalami kerugian dalam hidup ini karena tidak bisa memanfaatkan waktu dengan
baik, sementara salah satu karakteristik waktu adalah tidak akan bisa kembali
lagi bila sudah berlalu, Allah berfirman yang artinya: “Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya mentaati
kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS 103:1-3).
Karena itu, bagi seorang muslim yang diberkahi Allah, waktu digunakan untuk bisa membuktikan pengabdiannya kepada Allah Swt, meskipun dalam berbagai bentuk usaha yang berbeda, Allah berfirman yang artinya: “Demi malam apabila menutupi, dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (harta di jalan Allah) dan bertaqwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (92:1-7).
Karena itu, bagi seorang muslim yang diberkahi Allah, waktu digunakan untuk bisa membuktikan pengabdiannya kepada Allah Swt, meskipun dalam berbagai bentuk usaha yang berbeda, Allah berfirman yang artinya: “Demi malam apabila menutupi, dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (harta di jalan Allah) dan bertaqwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (92:1-7).
B. Bekerja
Giat dalam Konsep Islam
Kerja pada hakekatnya adalahnya manifestasi amal kebajikan.
Sebagai sebuah amal, maka niat dalam menjalankannya akan menentukan
penilaian. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya nilai
amal itu ditentukan oleh niatnya.” Amal seseorang akan dinilai berdasar apa
yang diniatkannya. Suatu hari Nabi Muhammad berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz
Al-Anshari. Ketika itu Nabi Muhammad melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya
gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. “Kenapa tanganmu?,” tanya
Nabi kepada Sa’ad. “Wahai Rasulullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini
karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang
menjadi tanggunganku”. Seketika itu Nabi mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya
berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka”.
Dalam kisah lain
disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Nabi Muhammad.
Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para
sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang
itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya.” Mendengar
itu Nabi pun menjawab, “Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang
masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua
orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja
untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi
sabilillah.” (HR. Ath-Thabrani).
Kerja adalah perintah
suci Allah kepada
manusia. Meskipun akhirat lebih kekal daripada dunia, namun Allah tidak
memerintahkan hambanya meninggalkan kerja untuk kebutuhan duniawi.
“Dan carilah pada apa
yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.” (QS. Al-Qashash: 77).
“Bukanlah orang yang
paling baik darimu itu yang meninggalkan dunianya karena akhiratnya, dan tidak
pula yang meninggalkan akhiratnya karena dunianya. Sebab, dunia itu penyampaian
pada akhirat dan janganlah kamu menjadi beban atas manusia.” (HR. Ibnu ‘Asakir
dari Anas).
Adanya siang dan malam
dalam alam dunia ini, merupakan isyarat akan adanya kewajiban bekerja (pada
siang hari).
“Dan Kami telah membuat
waktu siang untuk mengusahakan suatu kehidupan.” (QS. An-Naba’: 11).
“Kami telah menjadikan
untukmu semua di dalam bumi itu sebagai lapangan mengusahakan kehidupan. Tetapi
sedikit sekali kamu berterima kasih,” (QS. Al-A’raf: 10).
“Apabila Telah
ditunaikan shalat, maka menyebarlah di bumi dan carilah dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum’ah:
10).
Untuk memberikan motivasi
dalam bekerja, Nabi Muhammad, menggunakan bahasa yang sangat
mengunggah dan menyadarkan. “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan
hidup selama-lamanya. Dan beramallah untuk akhiratmu, seolah-olah kamu akan
mati besok.” (HR. Baihaqi).
Bekerja juga akan
membuat manusia lebih merdeka, dengan tidak menggantungkan
diri kepada orang lain, seperti dengan meminta-minta. “Demi, jika seseorang di
antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian
dipikul ke pasar untuk dijual, dengan bekerja itu Allah mencukupi kebutuhanmu,
itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Rasulullah pernah
ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan
terbaik adalah usahanya seseorang dengan tangannya sendiri dan semua
perjualbelian yang dianggap baik” (HR. Ahmad, Baihaqi, dan lain-lain).
Islam juga menganjurkan
untuk bekerja dengan sepenuh hati untuk memberikan kualitas
hasil terbaik. Bahkan kerja keras yang ikhlas merupakan
penghapus dosa. “Sebaik-baik pekerjaan ialah usahanya seorang pekerja jika ia
berbuat sebaik-baiknya” (HR. Ahmad). “Siapa bekerja keras hingga lelah dari
kerjanya, maka ia terampuni (dosanya) karenanya.” (Al-Hadist). “Berpagi-pagilah
dalam mencari rezeki dan kebutuhan hidup. Sesungguhnya pagi-pagi itu mengandung
berkah dan keberuntungan” (HR. Ibnu Adi dari Aisyah). “Sesungguhnya Allah
menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan
kualitasnya” (Al-Hadist).
Bekerja
tidak akan lepas dari bingkai hubungan sosial, karenanya aturan-aturan yang ada harus dipatuhi. Etika
dalam bekerja tetap harus dijaga. “Carilah kebutuhan hidup dengan senantiasa
menjaga harga diri. Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut
ketentuan” (HR. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).
Dalam konteks sosial
(termasuk organisasional) bekerja adalah amanah. Amanah harus
ditunaikan dengan baik. Pengabaian terhadap amanah adalah sebuah pengkhianatan
yang merupakan salah satu tanda orang munafik.
Bekerja
dengan sungguh-sungguh adalah syarat sebuah kemajuan. kemajuan yang didapat tanpa kerja keras adalah
pengingkaransunnatullah.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’d: 11). Dalam ayat lain
diungkapkan “Dan bahwa seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya.“ (QS. Al-Najm: 39).
Mari, dalam bekerja,
kita luruskan niat, kuatkan motivasi, perhatikan etika dan aturan yang ada,
sebagai upaya penuaian amanah yang merupakan syarat kemajuan.
C. Etika Bekerja Dalam Islam
Dalam mewujudkan
nilai-nilai ibadah dalam bekerja yang dilakukan oleh setiap insan, diperlukan
adab dan etika yang membingkainya, sehingga nilai-nilai luhur tersebut tidak
hilang sirna sia-sia. Diantara adab dan etika bekerja dalam Islam adalah :
1. Bekerja dengan ikhlas karena Allah SWT.
Ini merupakan hal
dan landasan terpenting bagi seorang yang bekerja. Artinya ketika bekerja,
niatan utamanya adalah karena Allah SWT. Ia sadar, bahwa bekerja adalah
kewejiban dari Allah yang harus dilakukan oleh setiap hamba. Ia faham bahwa
memberikan nafkah kepada diri dan keluarga adalah kewajiban dari Allah. Ia pun
mengetahui, bahwa hanya dengan bekerjalah ia dapat menunaikan kewajiban-kewajiban
Islam yang lainnya, seperti zakat, infak dan shodaqah. Sehingga ia selalu
memulai aktivitas pekerjaannya dengan dzikir kepada Allah.
2. Itqon, tekun
dan sungguh-sungguh dalam bekerja.
Implementasi
dari keikhlasan dalam bekerja adalah itqon (baca ; profesional) dalam
pekerjaannya. Ia sadar bahwa kehadiran tepat pada waktunya, menyelesaikan apa
yang sudah menjadi kewajibannya secara tuntas, tidak menunda-nunda pekerjaan,
tidak mengabaikan pekerjaan, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari esensi bekerja
itu sendiri yang merupakan ibadah kepada Allah SWT. Dalam sebuah hadits,
riwayat Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah SWT
mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, dia itqan (baca ;
menyempurnakan) pekerjaannya." (HR. Thabrani).
3. Jujur dan
amanah.
Etika lain dari bekerja dalam Islam
adalah jujur dan amanah. Karena pada hakekatnya pekerjaan yang dilakukannya
tersebut merupakan amanah, baik secara duniawi dari atasannya atau pemilik
usaha, maupun secara duniawi dari Allah SWT yang akan dimintai pertanggung
jawaban atas pekerjaan yang dilakukannya. Implementasi jujur dan amanah dalam
bekerja diantaranya adalah dengan tidak mengambil sesuatu yang bukan menjadi
haknya, tidak curang, obyektif dalam menilai, dan sebagainya. Rasulullah SAW
memberikan janji bagi orang yang jujur dan amanah akan masuk ke dalam surga
bersama para shiddiqin dan syuhada'. Dalam hadits riwayat Imam Turmudzi : Dari
Abu Said Al-Khudri ra, beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Pebisnis
yang jujur lagi dipercaya (anamah) akan bersama para nabi, shiddiqin dan
syuhada'.
4. Menjaga etika sebagai seorang muslim.
Bekerja juga harus memperhatikan adab
dan etika sebagai seroang muslim, seperti etika dalam berbicara, menegur,
berpakaian, bergaul, makan, minum, berhadapan dengan customer, rapat, dan
sebagainya. Bahkan akhlak atau etika ini merupakan ciri kesempurnaan iman
seorang mu'min. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan, "Orang mu'min yang paling
sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya." (HR.
Turmudzi). Dan dalam bekerja,
seorang mu'min dituntut untuk bertutur kata yang sopan, bersikap yang bijak,
makan dan minum sesuai dengan tuntunan Islam, berhadapan dengan customer dengan
baik, rapat juga dengan sikap yang terpuji dan sebagainya yang menunjukkan
jatidirinya sebagai seorang yang beriman. Bahkan dalam hadits yang lain
Rasulullah SAW menggambarkan bahwa terdapat dua sifat yang tidak mungkin
terkumpul dalam diri seorang mu'min, yaitu bakhil dan akhlak yang buruk. (HR.Turmuji)
5. Tidak melanggar prinsip-prinsip syariah.
5. Tidak melanggar prinsip-prinsip syariah.
Aspek lain dalam etika bekerja dalam
Islam adalah tidak boleh melanggar prinsip-prinsip syariah dalam pekerjaan yang
dilakukannya. Tidak melanggar prinsip syariah ini dapat dibagi menjadi beberapa
hal, Pertama dari sisi dzat atau substansi dari pekerjaannya, seperti
memporduksi barang yang haram, menyebarluaskan kefasadan (seperti pornografi
dan permusuhan), riba, risywah dsb. Kedua dari sisi penunjang yang tidak
terkait langsung dengan pekerjaan, seperti tidak menutup aurat, ikhtilat antara
laki-laki dengan perempuan, membuat fitnah dalam persaingan dsb.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip syariah, selain mengakibatkan dosa dan
menjadi tidak berkahnya harta, juga dapat menghilangkan pahala amal shaleh kita
dalam bekerja. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman,
taatlah kepada Allah dan taatlal kepada Rasul-Nya dan janganlah kalian
membatalkan amal perbuatan/ pekerjaan kalian.." (QS. 47 : 33).
6. Menghindari
syubhat
Dalam bekerja terkadang seseorang
dihadapkan dengan adanya syubhat atau sesuatu yang meragukan dan samar antara
kehalalan dengan keharamannya. Seperti unsur-unsur pemberian dari pihak luar,
yang terdapat indikasi adanya satu kepentingan terntentu. Atau seperti bekerja
sama dengan pihak-pihak yang secara umum diketahui kedzliman atau
pelanggarannya terhadap syariah. Dan syubhat semacam ini dapat berasal dari
internal maupun eksternal. Oleh karena itulah, kita diminta hati-hati dalam
kesyubhatan ini. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, "Halal itu
jelas dan haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara-perkara yang
syubhat. Maka barang siapa yang terjerumus dalam perkara yang syubhat, maka ia
terjerumus pada yang diharamkan..." (HR. Muslim)
7. Menjaga
ukhuwah Islamiyah.
Aspek lain yang juga sangat penting
diperhatikan adalah masalah ukhuwah islamiyah antara sesama muslim. Jangan
sampai dalam bekerja atau berusaha melahirkan perpecahan di tengah-tengah kaum
muslimin. Rasulullah SAW sendiri mengemukakan tentang hal yang bersifat
prefentif agar tidak merusak ukhuwah Islamiyah di kalangan kaum muslimin.
Beliau mengemukakan, "Dan janganlah kalian menjual barang yang sudah
dijual kepada saudara kalian" (HR. Muslim). Karena jika terjadi
kontradiktif dari hadits di atas, tentu akan merenggangkan juga ukhuwah
Islamiyah diantara mereka; saling curiga, su'udzon dsb. Karena masalah
pekerjaan atau bisnis yang menghasilkan uang, akan sangat sensitif bagi
palakunya. Kaum Anshar dan Muhajirin yang secara sifat, karakter, background
dan pola pandangnya sangat berbeda telah memberikan contoh sangat positif bagi
kita; yaitu ukhuwah islamiyah. Salah seorang sahabat Anshar bahkan mengatakan
kepada Muhajirin, jika kamu mau, saya akan bagi dua seluruh kekayaan saya;
rumah, harta, kendaraan, bahkan (yang sangat pribadipun direlakan), yaitu
istri. Hal ini terjadi lantaran ukhuwah antara mereka yang demikian kokohnya.
D. Keseimbangan
Dunia Akhirat
Allah SWT menciptakan kehidupan dunia adalah sebagai tempat
mengusahakan bekal untuk kehidupan akhirat. Namun, dalam manusia mengarungi
dunia tentu memerlukan kebutuhan pokok berupa pakaian, makan minum, rumah,
kendaraan, hajatan dan sebagainya. Semua itu adalah keperluan hidup yang tidak
mungkin diabaikan.
Firman Allat
Ta’ala :
“ Dan tuntutlah dengan harta kekayaan yang
telah dikurniakan Allah kepadamu akan
pahala dan kebahagiaan hari akhirat
dan janganlah engkau melupakan bahagian-mu
(keperluan dan bekalanmu) dari dunia;
dan berbuat baiklah (kepada hamba-hamba
Allah) sebagaimana Allah berbuat baik
kepadamu (dengan pemberian nikmat-NYA yang
melimpah-limpah); dan janganlah engkau
melakukan kerosakan di muka bumi;
sesungguhnya Allah tidak suka kepada
orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Islam
adalah agama yang memperseimbangkan antara tuntutan hidup di dunia dan tuntutan
hidup di akhirat. Segala harta kurniaan Allah hendaklah digunakan dan diuruskan
pada perkara-perkara kebaikan yang mendapat ganjaran di akhirat. Kesejahteraan
dan kebahagiaan hidup di akhirat tidak mungkin dapat dikecapi tanpa melakukan
amalan-amalan baik ketika di dunia seperti menafkahkan harta di jalan Allah,
menuntut ilmu di jalan Allah, mengeluarkan zakat, bersedekah dan sebagainya.
Keseimbangan dunia dan akhirat akan mewujudkan umat Islam yang sentiasa memberi
manfaat kepada sekalian manusia. Mengabaikan salah satu daripada
tuntutan-tuntutan tersebut, bukan sahaja memusnahkan keharmonian dan
kesejahteraan hidup manusia, malah mendatangkan kerusakan kepada diri sendiri.
Manusia tidak
dianjurkan oleh Islam hanya mencari pengetahuan yang hanya berorientasi pada
urusan akhirat saja. Akan tetapi, manusia diharapkan tidak melupakan
pengetahuan tentang urusan dunia. Meskipun kehidupan dunia ini hanyalah sebuah
permainan dan senda gurau belaka, atau hanyalah sebuah sandiwara raksasa yang
diciptakan oleh Tuhan semesta alam. Namun, pada dasarnya manusia diharapkan
mampu menjaga keseimbangan dirinya dalam menjalani realita kehidupan ini,
termasuk dalam mencari pengetahuan.
Kebaikan (hasanah) dalam bentuk apapun tanpa didasari ilmu, niscaya tidak
akan terwujud. Baik berupa kebaikan duniawi yang berupa kesejahteraan,
ketenteraman, kemakmuran dan lain sebagainya. Apalagi kebaikan di akhirat tidak
akan tercapai tanpa adanya pengetahuan yang memadai. Karena segala bentuk
keinginan dan cita-cita tidak akan terwujud tanpa adanya usaha dan pengetahuan
untuk mencapai keinginan dan cita-cita itu sendiri.
Jadi tuntutan dalam menunaikan
keperluan hidup di dunia dan akhirat amat ditekankan dalam ajaran Islam. Hidup
akan berkurang apabila tidak menuntut keduanya, jadi kita jangan sampai
mengabaikan kedua hal tersebut dalam menjalani kehidupan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar