A. Latar
Belakang
Dalam menghadapi seluruh
kenyataan dalam hidupnya, manusia senatiasa terkagum atas apa yang dilihatnya.
Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai
menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama
atau kepercayaan Ilahiah.
Tetapi sudah sejak awal
sejarah, ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan
akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik
segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran,
yang disebut pencerahan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis,
sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan,
maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Jauh sebelum manusia
menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu
disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika,
dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya
tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang
nanti akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati.
Kegiatan manusia yang
memiliki tingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar
mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia .
Meski bagaimanapun
banyaknya gambaran yang kita dapatkan tentang filsafat, sebenarnya masih sulit
untuk mendefinisikan secara konkret apa itu filsafat dan apa kriteria suatu
pemikiran hingga kita bisa memvonisnya, karena filsafat bukanlah sebuah
disiplin ilmu. Sebagaimana definisinya, sejarah dan perkembangan
filsafat pun takkan pernah habis untuk dikupas. Tapi justru karena itulah
mengapa fisafat begitu layak untuk dikaji demi mencari serta memaknai segala
esensi kehidupan.
Di dunia
Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan filsafat Islam
dimulai secara resmi di abad ke dua dan tiga Hijriyah, berbarengan dengan
penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Dalam suatu periode, timbul beberapa
pemikiran penting oleh tokoh-tokoh filsafat islam, diantaranya yaitu Ibnu Sina,
Al Ghazali dan Ibnu Rusyd.
Oleh
karena itu, penulis akan membahas lebih jauh mengenai pemikiran-pemikiran Ibnu
Sina, Al Ghazali dan Ibnu Rusyd sehingga diharapkan mahasiswa/mahasiswi dapat
memahami pemikiran para filosof Islam tersebut.
B. Tujuan
Penulisan Makalah
Tujuan dibuatnya makalah ini yaitu mengetahui lebih
jauh mengenai pemikiran para filosof Islam, yaitu Ibnu Sina, Al Ghazali dan Ibnu
Rusyd sehingga mahasiswa dapat menambah wawasan mengenai filsafat Islam.
C.
Metode Penulisan
Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan bahan makalah ini adalah :
1. Metode Pustaka
Metode
ini merupakan metode pengumpulan bahan/materi yang bersumber dari buku-buku
yang relevan.
2. Metode Internet Browsing
Metode
ini merupakan metode pencarian bahan/materi yang bersumber dari artikel-artikel
terkait dari Internet.
BAB II
PERMASALAHAN
Di dunia
Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan filsafat Islam
dimulai secara resmi di abad ke dua dan tiga Hijriyah, berbarengan dengan
penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Dalam suatu periode, timbul beberapa
pemikiran penting oleh tokoh-tokoh filsafat islam, diantaranya yaitu Ibnu Sina,
Al Ghazali dan Ibnu Rusyd.
Adapun dalam
makalah ini, penulis hanya membahas mengenai pemikiran Ibnu Sina, Al Ghazali
dan Ibnu Rusyd mengenai filsafat Islam dan perbedaan antar pemikiran-pemikiran
tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran Ibnu Sina
1. Filsafat Jiwa
Ibnu
Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan,
sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku - buku yang khusus untuk soal -
soal kejiwaan ataupun buku - buku yang berisi campuran berbagai persoalan
filsafat.
Memang
tidak sukar untuk mencari unsur - unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang
kejiwaan, seperti pikiran - piiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama
pikiran- pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya.
Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri
atau pikiran - pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika
maupun segi pembahasan metafisika.
Dalam
segi fisika, ia banyak memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh
oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika terdapat kedalaman
dan pembaharuan yang menyebabkan dia mendekati pendapat - pendapat filosof
modern.
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal
kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke
sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada Gundisallinus, Albert
the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.
Pemikiran
terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa.
Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar
akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama,
demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari
akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah
bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai
dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin
wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the
necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga
obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai
mungkin wujudnya. Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari
pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari
pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia
sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan,
memancar dari akal ke sepuluh.
Segi - segi
kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu
:
a. Segi fisika yang membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa
tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan - kebaikan, jiwa
manusia, indera dan lain - lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam
pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
b. Segi metafisika, yang
membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan
keabadian jiwa.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :
a. Jiwa tumbuh - tumbuhan
dengan daya - daya :
- Makan (nutrition)
- Tumbuh (growth)
- Berkembang biak (reproduction)
b. Jiwa binatang dengan daya
- daya :
- Gerak (locomotion)
- Menangkap (perception) dengan dua bagian :
Menangkap dari luar dengan panca
indera
Menangkap dari dalam dengan
indera - indera dalam.
c. Jiwa manusia dengan
daya - daya :
- Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang
hubungannya adalah dengan hal - hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
1). Akal materiil yang semata -
mata mempunyai potensi untuk berfikir
dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
2). Intelectual in habits, yang telah
mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal abstrak.
3). Akal actuil, yang telah dapat
berfikir tentang hal - hal abstrak.
4). Akal mustafad yaitu akal yang telah
sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Sifat seseorang
bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh - tumbuhan, binatang
dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai
binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka
orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan.
Menurut
Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud
terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang
sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia
tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada
badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih
berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa
manusia untuk dapat berfikir.
Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya
jiwa yaitu :
1. Dalil alam - kejiwaan
(natural psikologi).
2. Dalil Aku dan kesatuan
gejala - gejala kejiwaan.
3. Dalil kelangsungan
(kontinuitas).
4. Dalil orang terbang atau
orang tergantung di udara.
Dalil – dalil tersebut apabila diuraikan satu persatu
adalah sebagai berikut
1. Dalil Alam Kejiwaan
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di
tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa – peristiwa tersebut adalah
gerak dan pengenalan (idrak, pengetahuan).
Gerak ada dua macam yaitu :
a. Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul
sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian
menggerakkannya.
b. Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi
menjadi dua yaitu :
1). Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam,
seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
2). Gerak yang terjadi dengan melawan hukum
alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sdang berat badannya seharusnya
menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang menjulang di udara, yang
seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan
dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang
melebihi unsur – unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut ialah jiwa.
Pengenalan (pengetahuan) tidak
dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang
memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan lain yang tidak
terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina
yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua –
duanya dari Aristoteles.
Namun dalil Ibnu Sina tersebut
banyak berisi kelemahan – kelemahan antara lain bahwa natural (physic)
pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya
benda – benda tersebut hanya terdiri dari unsur – unsur yang satu maca, sedang
benda – benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur – unsurnya). Oleh
karena itu maka tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda – benda
yang bergerakmelawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas
dan berisi unsur – unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak
alat – alat (mesin ) yang bergerak dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum
alam, namun seorang pun tidak mengira bahwa alat – alat (mesin – mesin) terseut
berisi jiwa atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya.
Ulama – ulama biologi sendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan
tafsiran mekanis dan dinamis, tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi
(kejiwaan).
Nampaknya Ibnu Sina sendiri
menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam kitab – kitab yang
dikarang pada masa kematangan ilmunya, seperti al-syifa dan al-Isyarat,
dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan ia lebih mengutamakan
dalil-dalil yang didasarkan atas segi – sehi pikiran dan jiwa, yang merupakan
genitalianya Ibnu sina.
2. Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang
membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang
dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya
keluar atau saya tidur, maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata
yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita
3. Dalil
Kelangsungan (kontinuitas).
Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang
sekarang berisi juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada
pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungan ini
tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada hubngannya dengan kehidupan
kita yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Kalau kita ini bergerak
dalam mengalami perubahan, maka gerakan – gerakan dan perubahan tersebut
bertalian satu sama lain dan berangkai – rangkai pula. Pertalian dan
perangkaian ini bisa terjadi karena peristiwa – peristiwa jiwa merupakan
limphan dari sumber yang satu dan beredar sekitar titik tarik yang tetap.
Ibnu Sina dengan dalil kelangsungan tersebut
telah membuka ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan mencerminkan
penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam, bahkan telah mendahului masanya
beberapa abad, karena pendapatnya tersebut dipegangi oleh ilmu jiwa modern dan
telah mendekati tokoh – tokoh pikir masa sekarang.
4. Dalil Orang Terbang atau Tergantung di Udara.
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan
yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut
didasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya
untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut : “Andaikan
ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani,
kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada
di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan,
sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan,
dan anggota – anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai
saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang
tersebut tidak akan ragu – ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat
menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak
mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya
adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga
dimensi). Kalau pada saat tersebut ia mengkhayalkan
(memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang
wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya,
melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.
Dalil Ibnu Sina tersebut seperti halnya dengan dalil
Descartes, didasarkan atas suatu hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda – beda
mengharuskan adanya perkara – perkara yang berbeda – beda pula. Seseorang dapat
melepaskan dirinya dari segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar
kepribadian dan dzatnya sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita
ketahui dengan adanya perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja yang
kita ketahui dengan langsung, yaitu jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang
wujudnya, meskipun sebentar saja, karena pekerjaan – pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan adanya jiwa tersebut.
B.
Filsafat Wujud
Bagi
Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas
segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina
terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat
tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi
tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak
mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan
falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain.
Kalau
dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
1. Essensi yang tak dapat
mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’
yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible
being).
2. Essensi yang boleh
mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin
yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud.
Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya
akan hancur menjadi tidak ada.
3. Essensi yang tak boleh
tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan
dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak
dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan
essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud
selama - lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan.
Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.
Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin,
tampaknya Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada :
baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud
Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga
mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu,
yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini
mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk
ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu
lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib. Untuk
menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula
“bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan
baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim,
sebelum Zaman.
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat
disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
Pertama,
perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah
selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah
(hal. 372) Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib
(mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar)
- dari wuwud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada
bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang
baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah
telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam
pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah
sesudah diciptakan.
Kedua,
perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari
perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan
hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.
Ketiga,
manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud,
keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan
dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat
yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan
“kemestian” pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah
Allah sesudah itu menjadi sia - sia, akrena iradah itu tidak lagi bebas
sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam
arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak
selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih - lebih
lagi pada dzat-Nya.
Keempat,
perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi
wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur
(keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama -
nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan
Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep
Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan
konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai
pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk
memperoleh kesempurnaan.
C. Filsafat Wahyu dan
Nabi
Pentingnya
gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah
diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”,
keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita
petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal
materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat
akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya
Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang
Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal
materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah
dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau
wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal
tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi – nabi.
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang
mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni
sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya
berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai
kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam
kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi
kebenaran dalam selubung simbol – simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong
?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan –
tujuan dan prinsip – prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu
struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak
akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum
dan seorang negarawan tertinggi – memang hanya nabilah pembuat hukum dan
negarawan yang sebenarnya.
B. Pemikiran Al Ghazali
Al-Ghazali dikenal sebagai seorang filsuf Muslim yang secara tegas
menolak segala bentuk pemikiran filsafat metafisik yang berbau Yunani. Dalam
bukunya berjudul The Incoherence of Philosophers, Al-Ghazali mencoba
meluruskan filsafat Islam dari pengaruh Yunani menjadi filsafat Islam, yang
didasarkan pada sebab-akibat yang ditentukan Tuhan atau perantaraan malaikat.
Upaya membersihkan filasat Islam dari pengaruh para pemikir Yunani yang
dilakukan Al-Ghazali itu dikenal sebagai teori occasionalism.
Filsafat dipelajari Al-Ghazali
secara serius saat dia tinggal di Baghdad. Sederet buku filsafat pun telah
ditulisnya. Salah satu buku filsafat yang disusunnya, antara lain, Maqasid
al-Falasifa (The Intentions of the Philosophers). Lalu, ia juga menulis
buku filsafat yang sangat termasyhur, yakni Tahafut al-Falasifa (The
Incoherence of the Philosophers).
Menurut al-Ghazali di dalam buku – buku filsafatnya
dia menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap tidak
berubah – ubah yaitu al-Nafs atau jiwanya. Adapun yang dimaksud tentang
al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri yang tidak bertempat”.
Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan – pengetahuan intelektual (al-ma’qulat)
yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr. Hal ini
menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya.
Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah
sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung kepada
fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan bahwa
manusia terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi dan
substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak
dengan kemauan. Substansi yang pertama dinamakan badan (al-jism)
dan substansi yang kedua disebut jiwa (al-nafs).
Jiwa (al-Nafs) memiliki daya – daya sebagai
derivatnya dan atas dasar tingkatan daya – daya tersebut, pada diri manusia
terdapat tiga jiwa (al-nufus al-tsalatsah) :
Pertama jiwa tumbuhan (al-nafs
al-nabatiyah) merupakan tingkatan jiwa yang paling rendah dan memiliki tiga
daya 1) daya nutrisi (al-ghadiya), 2) daya tumbuh (al-munmiyah)
dan 3) daya reproduksi (al-muwallidah), dengan daya ini manusia dapat
berpotensi makan, tumbuh dan berkembang biak sebagaimana tumbuh – tumbuhan.
Kedua, jiwa hewani/sensitive (al-nafs
al-hayawaniyah) yang memiliki dua daya 1) daya penggerak (al-mukharikah)
dan 2) daya persepsi (al-mudrikah). Pada penggerakn (al-mukharikah)
terdapat dua daya lagi yaitu 10 daya pendorong (al-baitsah) dan 2) daya
berbuat (al-fa’ilah). Hubungan antara daya pertama dengan daya kedua
sebagaimana hubungan daya potensi dan aktus, tetapi keduanya bersifat potensial
sebelum mencapai aktualisasinya. Yang pertama merupakan kemauan dan yang kedua
merupakan kemampuan. Karena itu al-Ghazali menyebut yang pertama iradah
dan yang kedua qudrah.
Ketiga, jiwa rasional (al-nafs
al-natiqah). Mempunyai dua daya !) daya praktis (al-‘amilah) dan 20
daya teoritis (al-alimah). Yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh
melalui daya – daya jiwa sensitive / hewani. Sesuai dengan tuntutan pengetahuan
yang dicapai oleh akal teorities. Yang dimaksud akal teoritis adalah al-‘alimah,
sebab jiwa rasional disebut juga al ‘aql. Al-‘alimah disebut
juga akal praktis. Akal praktis merupakan saluran yang menyampaikan gagasan
akal teoritis kepada daya penggerak.
Al-Ghazali didalam Tahafut al-Falasifah
menyangkal 20 buah kesalahan para filosof muslim beserta pendahulu – pendahulu
mereka yang berpaham teistik di Yunani. Para filosof yang disangkal oleh
al-Ghazali ini terbagi kedalam tiga kelompok.
1. Filosof – filosof materialistik (dahriyyun)
Mereka adalah ateis – ateis yang menyangkal adanya Allah dan
merumuskan kekekalan alam dan terciptanya alam dengan sendirinya.
2. Filosof – filosof naturalis atau desitik (thabi’iyyun).
Mereka melaksanakan berbagai riset di dalam alam semesta dan
segala sesuatu yang menakjubkan di dalam dunia binatang dan tumbuh – tumbuhan.
Melalui riset-riset itu mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban – keajaiban
di dalam ciptaan Allah dan mereka menemukan kebijaksanaan-Nya sehingga
akhirnya mereka mau tak mau mengakui adanya satu pencipta yang Maha Bijaksana.
Walaupun demikian mereka tetap menyangkal adanya hari pengadilan, kebangkitan
kembali dan kehidupan akhirat. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa,
karenanya mereka memuaskan nafsu – nafsu mereka seperti binatang.
3. Filosof – filosof teis (ilahiyyun).
Mereka adalah filosoh – filosof Yunani
seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah mengkritik filosof
– filosof teis sebelumnya, termasuk Socrates dan Plato. Walaupun begitu,
menurut al-Ghazali, Aristoteles masih mempertahankan sisa – sisa kekafiran dan
kebid’ahan mereka yang tak berhasil dilepaskannya.
C. Pemikiran Ibnu Rusyd
1.
Agama dan Filsafat
Menurut
Ibnu Rusyd, Syara’ tidak bertentangan bertentangan dengan filsafat, karena
fisafat itu pada hakikatnya tidak lebih dari bernalar tentang alam empiris ini
sebagai dalil adanya pencipta. Dalam hal ini syara’pun telah mewajibkan orang
untuk mempergunakan akalnya, seperti yang jelas dalam irman Allah : “Apakah
mereka tidak memikirkan (bernalar)tentang kerajaan langit dan bumi dan segala
sesuatu yang diciptakan Allah.” (Al-Araf: 185) dan firman Allah suiarah
Al-Hasyr: 2 yang artinya: “Hendaklah kamu mengambil Itibar (ibarat) wahai
orang-orang yang berakal”. Bernalar dan ber’itibar hanya dapat dimungkinkan
dengan menggunakan kias akali, karena yang dimaksud dengan I’tibar itui tiadak
lain dari mengambil sesuatu yang belum diktahui dari apa yang belum diketahui.
Qyas
akali merupakan suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan. Setiap pemikir
wajib mempelajari kaidah-kaidah kias dn dalil serta mempelajari ilmu logika dan
falsafah. Bernalar dengan kaidah yang benar akan membawa kepada
kebenaran yang diajarkan agama, karena kebenaran tidak saling bertentangan,
tapi saling sesuai dan menunjang.
Seperangkat ajaran yang disebut dalam
al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sesuatu yang pada lahirnya berbeda dengan
filsafat, sehingga difahami bahwa filsafat itu bertentangan dengan agama. Dalam
hal ini Ibnu Rusyd menjawab dengan konsep takwil yang lazim digunakan dalam
masalah-masalah seperti ini.
Dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang harus
difahami menurut lahirnya, tidak boleh dita’wilkan dan ada juga yang harus
dita’wilakan dari pengertian lahiriah.
Adapun jika keterangan lahiriahnya sesuai
dengan keterangan filsafat, ia wajib diterima menurut adanya. Dan jika tidak,
ia harus dita’wilkan. Namun ta’wil itu sendiri tidak sembarang orang dapat
melakukannya atau disampaikan kepada siapa saja. Yang dapat melakukan ta’wil
itu adalah para filosof atau sebagian mereka, yakni orang-orang yang telah
mantap dalam memahami ilmu pengetahuan. Adapun penyampaian ta’wil itu dibatasi
pada orang-orang yang sudah yakin, tidak kepada selain mereka yang ampang menjadi
kufur.
Agama islam kata Ibn Rusyd tidak mengandung
dalam ajarannya hal-hal yang bersifat rahasia, seperti ajaran trinitas dalam
agama Kristen. Semua ajarannya dapat dipahami akal karena akal dapat mengetahui
segala yang ada. Dari itu, iman dan pengetahuan akali merupakan kesatuan yang
tidak bertentangan, karena kebenaran itu, pada hakikatnya adalah satu.
Akan tetapi,
dalam agama ada ajaran tentang hal-hal yang ghaib seperti malaikat, kebangkitan
jasad, sifat-sifat surga dan neraka dan lain-lain sebagainya yang tidak dapat
diapahami akal, maka hal-hal yang seperti itu kata Ibn Rusyd merupakan lambing
atau simbolm bagi hakikat akali. Dalam hal ini, ia menyetujui pendapat imam
al-Ghazali yang mengatakan, wajib kembali kepada petunjuk-petunjuk agama dalam
hal-hal yang tidak mampu akal memahaminya.
2.
Metafisika
a. Dalil wujud Allah
Dalam
membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah dkemukakan
oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa yang telah
digariskan oleh Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd
mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam
berbagai ayatnya, dank arena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang
dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang –orang
khusus yang terpelajar.
b. Dalil ‘inayah (pemeliharan)
Dalil
ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusia. Artinya
segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Pertama segala
yang ada ini sesuai dengan wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah
terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaja diciptakan demikian oleh sang
pencipta bijaksana.
c. Dalil Ikhtira’ (penciptaan)
Dalil
ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, seperti ciptaan pada
kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.
Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan
padanya,sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga berbagai
bintang dan falak di angkasa tundujk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu
siapa saja yang ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib
mengetahui hakikat segala sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan
hakiki pada semua realitas ini.
d. Dalil Gerak
Dalil
ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagai dalil yang
meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles
sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu
keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada gerak
pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir pada yang bergerak pad dzatnya dengan
sebab penggerak pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya
maupun pada sifatnya.
Akan
tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles
bahwa gerak itu qadim.
e. Sifat-sifat Allah
Adapun
pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada perbedaan alam gaib
dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd mengatakan, orang
harus menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan).
Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis
memperbandingkan dua jenis ilmu itu.
3.
Fisika
a.. Materi dan forma
Seperti
dalam halnya metafisika, ibnu rusyd juga di juga di pengaruhi oleh Aristoteles
dalam fisika. Dalam reori Aristoteles, ilmu fisika membahas yang ada (maujud)
yang mengalami perubahan seperti gerak dan diam. Dari dasarnya itu, ilmu fisika
adalah materi dan forma.
Menurut Ibn Rusyd, bahwa segala sesuatu
yang berada di bawah alam falk terdiri atas materi dan forma. Materi adalah
sesuatu yang darinya ia ada, sedangkan forma adalah sesuatu yang dengannya ia
menjadi ada setelah tidak ada.
b. Sifat-sifat jisim.
Adapun
sifat-sifat jisim ada empat macam, yaitu:
Ø Gerak
Ø Diam
Ø Zaman
Ø Ruang
c. Bangunan alam.
Para filosof klasik mengatakan, bahwa
bentuk bundar adalah yang paling sempurna, sehingga gerak melingkar merupakan
gerak yang paling Afdol. Gerak inilah yang kekal lagi azali. Dengan sebab gerak
ini, maka jisim-jisim samawi memiliki bentuk bundar. Karena jisim-jisim ini
bergerak melingkar, maka alam semesta ini merupakan sesuatu planit yang
bergerak melingkar.Dan planit ini hanya satu saja, sehingga tidak ada
kekosongan. Demikianlah alam falak itu saling mengisi.
Jadi alam ini terdiri dari jisim-jisim
samawi yang tunggal dan benda-benda bumi yang terdiri dari percampuran emoat
anasir melalui falak-falak. Dari percampuran ini timbulah benda-benda padat,
tumbuhan hewan, dan akhirnya manusia.
4.
Manusia
Dalam
masalah manusia, Ibn Rusyd juga dipengaruhi oleh teori Aristoteles. Sebagi
bagian dari alam, manusia terdiri dari dua unsure materi dan forma.. jasad
adalah materi dan jiwa adalah forma. Seperti halnya Aristoteles, Ibnu Rusyd
membuat definisi jiwa sebagai “kesempurnaan awal bagi jisim alami yang
organis.” Jiwa disebut sebagai kesempurnaan awal untuk membedakan dengan
kesempurnaan lain yangmerupakan pelengkap darinya, seperti yang terdapat pada
berbagai perbuatan. Sedangkan disebut organis untuk menunjukan kepada jisim
yang terdiri dari anggota-anggota. Untuk menjelaskan kesempurnaan jiwa
tersebut, Ibnu Rusyd mengkaji jenis-jenis jiwa yang menurutnya ada lima:
- Jiwa Nabati
- Jiwa perasa
- Jiwa khayal
- Jiwa berfikir
-Jiwa kecendrungan
5.
Kenabian dan Mu’jizat
Allah menyampaikan wahyu kepada umat manusia melalui
rasulnya. Dan sebagai bukti bahwa orang itu Rasul Allah, ia harus membawa tanda
yang berasal darinya, dan tanda ini disebut mukjizat. Pada seorang rasul,
mukzizat itu meliputi dua hal yang berhubungan dengan ilmu dan yang berhubungan
dengan amal. Dalam hal yang pertama, rasul itu memberitahukan jenis-jenis ilmu
dan berbagai amal perbuatan yang tidak lazim diketahui oleh manusia. Suatu hal
yang diluar kebiasaan pengetahuan manusia, sehingga ia tidak dapat mengetahuinya
adalah bukti bahwa orang yang membawanya adalah rasul yang menerima wahyu dari
Allah, bukan dari dirinya.
Ringkasnya Ibnu Rusyd membedakan dua jenis mukjizat: mukjizat
ekstern yang tidak sejalan dengan sifat dan tugas kerasulan, seperti menyembuhkan
penyakit, membelah bulan dan sebagainya. Dan mukjizat intern yang sejalan
dangan sifat dan tugas kerasulan yang membawa syariat untuk kebahagiaan umat
manuisia. Mukjizat yangpertama yang berfungsi sebagai penguat sebagai
kerasulan. Sedangkan yang kedua sebagai bukti yang kuat tentang kerasulan yang
hakiki dan merupakan jalan keimanan bagi para ulama dan orang awamsesuai dengan
kesanggupan akal masing-masing.
6.
Politik dan Akhlak
Seperti
yang telah disebut oleh plato, Ibnu Rusyd mengatkan, sebagai makhluk social,
manusia perlu kepada pemerintah yang didasarkan kepada kerakyatan. Sedangkan
kepala pemerintah dipegang oleh orang yang telah menghabiskan sebagian umurnya
dalam dunia filsafat, dimana ia telah mencapai tingkat tinggi . pemerintahan
islam pada awalnya menurut Ibnu rusyd adalah sangat sesuai dengan teorinya
tentang revublik utama, sehingga ia mengecam khalifah muawwiyah yang
mengalihkan pemerintahan menjadi otoriter.
Dalam
pelaksanaan kekuasaan hendaknya selalu berpijak pada keadilan yang merupakan
sendinya yang esensial. Hal ini karena adil itu adalah produk ma’rifat,
sedangkan kezaliman adalah produk kejahilan.
Ibnu Rusyd mengatakan
bahwa dalam Negara utama orang tidak memerlukan lagi kepada hakim dan dokter
karena segala sesuatu berjalan secara seimbang, tidak lebih dan tidak
berrkurang.hal ini karena keutamaan itu sendiri mengandung dalam dirinya
keharusan menghormati hak orang lain dan melakukan kewajiban.
Khusus tentang wanita , Ibnu
rusyd sangat membela kedudukannya yang sangat penting dalam Negara. Pada
hakikatnya, anita tidak berbeda dengan pria pada watak dan daya kekuatan. Dan
jikapun ada, maka itu hanya ada pada kuantitas daya dan pada beberapa bidang
saja. Dan jika dalam kerja, ia dibawa tingkat pria, tetapi ia melebihinya dalam
bidang seni, seperti musik. Menurut Ibnu Rusyd, masyarakat islam tidak akan
maju, selama tidak membebaskan wanita dari berbagai ikatan dan kekangan yang
membelenggu kebebasannya.
BAB IV
KESIMPULAN
A. Ibnu
Sina
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina (370/980
– 428/1037), dalam banyak hal unik sedang diantara para filosof muslim ia tidak
hanya unik tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa
modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil
membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci – suatu sistem yang telah
mendominasi tradisi filsafat muslim selama beberapa abad.
B.
Al-Ghazali
Pemikiran al-Ghazali mengenai pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran tersebut menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah, sehingga menjadi manusia yang sempurna.
Pemikiran al-Ghazali mengenai pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran tersebut menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah, sehingga menjadi manusia yang sempurna.
C.
Ibnu Rusyd
Usaha pendamaian agama dan filsafat yang dilakukan Ibnu Rusyd melebihi
upaya yang dilakukan para filosof Muslim seperti al_kindi, al-Farabi dan
lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebenaran agama dan
filsafat dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari ajaran
agama Islam. Dengan keunggulan itu, Ibnu Rusyd mampu mematahkan “serangan”
Al-Ghazali dengan cara yang lebih tajam dan jelas.
Berdasarkan pembahasan
diatas dapat diketahui bahwa diantara pemikiran-pemikiran para filosof Islam
tersebut terdapat berbagai perbedaan, namun pada intinya pemikiran-pemikiran
mereka adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala
yang ada sejauh mungkin bagi manusia, terutama umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ahwan, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Jakarta,
Pustaka Firdaus, 1984.
Al-Ghazali,
Ilmuwan dan Filosof Besar Islam.www.sidogiri.com.Internet
Filsafat
Ibnu Sina. www. google.co.id.
Internet
Mustofa A., H., Drs., Filsafat Islam, Bandung, 1997.
Pemikiran Filsuf Abad Pertengahan.www.kampus-islam.com.Internet
Sejarah Hidup Imam Al Ghazali.www.muslim.or.id.Internet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar