BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Haji artinya
berziarah atau mengunjungi. Dalam istilah syara artinya menziarahi atau
mengunjungi Ka’bah di Mekkah, dengan niat tertentu, waktu tertentu, dan
cara-cara tertentu pula.
Untuk menentukan kapan waktu melempar jumrah tersebut
diantara para Ulama mazhab banyak
terjadi perbedaan pendapat. Karena masing-masing mempunyai dalil-dalil. Sementara orang
menyangka, bahwa perbedaan pendapat dalam masalah fiqih adalah karena
semata-mata pendapat pribadi orangnya, sehingga munncullah mazhab dan
pendapat-pendapat. Anggapan orang yang keliru didukug pula oleh sikap
orang-orang yang “fanatic buta” terhadap mazhab dan mengangkat pendapat mazhb
lebih tinggi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, di satu pihak dan pihak lain hampir
semua kitab “matan” tidak menyebutkan sandaran pendapat Al-Qur’an atau
As-Sunnah ataupun cara pengalisaannya.
Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan
pendapat para imam mazhab dan para ulama fiqih, sangat penting untuk membantu
kita, agar keluar dari taqlid buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil
yang mereka pergunakan serta jalan pemikiran mereka dalam penetapan hukum suatu
masalah. Sehingga dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam
studi tentang hal yang diperselisihkan, meneliti sistem dan cara yang lebih
baik, serta tepat dalam mengistinbatkan hukum juga dapat mengembangkan
kemampuan dalam hukum fiqih bahkan akan terbuka kemungkinan untuk menjadi mujtahid.
B. Tujuan Penulisan
1. Agar menjadi
bahan pikiran Mahasiswa untuk mempelajari dan mengetahui masalah dalam fiqih
terutama dibidang masalah haji.
2. Menjadi
pelajaran penting agar terhindar dari taqlid buta dan dengan mempelajari hal
tersebut Mahasiswa bisa memahami bahwa perbedaan itu pasti ada, dan perbedaan
pendapat di kalangan para ulama itu menjadi rahmat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Waktu
Melempar Jumrah
Ada beberapa pendapat Ulama Mazhab tentang
permulaan waktu melempar jumrah, antara lain:
1. Imam Syafi’I
Melontar jumrah, yaitu Jumrah Aqabah saja pada hari nahr
(tanggal 10 dzulhijjah) dan melontar ketiga setiap hari pada hari-hari tasyriq
yang tiga, yaitu tiga hari setelah hari nahr (tanggal 11, 12, 13 dzulhijjah).
Waktu untuk melontar itu masuk mulai pertengahan malam nahr, dengan syarat
sebelumnya telah berwukuf, dan berlangsung hingga hari tasyriq..
Permulaan melempar jumrah tersebut dilakukan apabila
matahari telah tergelincir (telah condong) ke barat.
Hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Dawu dan Baihaqi menyatakan:
“Dari
Aisyah r.a. Bahwasanya Nabi SAW. tinggal di mekkah, sehingga beliau shalat
dzuhur, kemudian ia kembali ke mina, lalu tinggal di sana selama hari Tasyriq
yang tiga, beiau melempar jumrah pertama (jumrah Kubra), dengan tujuh buah batu
apabila tergelincir matahari dan pada tiap-tiap melempar itu dibacanya takbir”.
(H.R. Abu Dawud dan Baihaqi)
Kecuali melempar di hari Nahar, yang dilaksanakan ketika
matahari naik.
Sebuah
hadist menyatakan:
“
Dari Jabir r.a., ia berkata, ‘Rasulullah SAW. telah melempar jumrah di hari
Nahr ketikamatahari naik. Dan sesudah itu, apabila matahari telah tergelincir.”
(H.R. Muslim dan Abu Dawud)
Dalam hal ini harus
benar-benar mempunyai makna melontar. Jika ia hanya meletakkan batu itu di
tempat pelontaran, maka yang demikian itu tidak cukup. Demikian itu juga ia
harus menyengaja datang ke tempat pelontaran. Maka ia tidak sah me;ontarkan
batu diudara sekalipun batu itu jatuh disasaran. Dan lontaran itu tidak sah
kecuali apabila batu itu benar-brnar mengenai sasaran.
Sedangkan lontaran yag sah menurut syara adalah lontaran
yang menggunakan tangan, bukan menggunkan busur atau lainnya. Maka yang
demikian it tidak sah kecuali karena udzur. Dan tidak sah dipakai melontar
kecuali batu. Sdangkan melontar dengan mutiara, garam, batu bata, dan lain
semacamnya, yang demikian itu tidak sah. Yang melontar iru harus yakin bahwa ia
telah melontarkan tujuh butir kerikil pada tiap-tiap jumrah dari yang tiga.
Yang demikian itu dilaksankan pada hari kedua (11 dzulhijjah) dan ketiga (12
dzulhijjah) dari hari-hari Id. Sebagimana juga harus benar-benar berjumlah
tujuh lontaran kerikil pada Jumrah
Aqabah yang dilakukan pada hario Id. Jika ia ragu, maka hendaklah ia menyempurakan
lontaranyan hinga benar-benar (diyakini) kerikil itu dilontarkan sebagaimana
tadi, maka lonataran itu tidaklah dihitung kecuali satu. Dan ia harus
menertibkan antara ketiga jumrah yang dilontarnya pada hari-hari tasyriq, yaitu
dengan memulai melontar dari jumrah yang terdapat didekat Mesjid Khaif,
kemudian jumrah Wustha, kemudian Jumrah Aqabah. Maka ia boleh pindah (dari satu
Jumrah) ke Jumrah yang kain kecuali yang sebelumnya telah sempurna.
Adapun
sunat-sunat melontar, yaitu:
- Mandi setiap
hari sebelum melontar.
- Mendahulukan
shalat dzuhur pada hari-hari tasyriq.
- Muwalat (runtun,
berturut-turut) antara lontaran-lontaran itu dan antara satu jumrah dengan yang
lain.
- Melontar dengan
tangan kanan, bila yang demikian itu mudah baginya.
- Mencuci kerikil
(yang hendak dilontarkan) bila pada kerikil tersebut terdapat najis.
- Kerikil itu
hendaklah dipilih yanglebih kecil dari ujung jari.
- mengganti bacaan
talbiyah dengan takbir pada lontaran kerikil pertama.
- bila ia datang
dari Mina dengan berkendaraan, maka hendaklah ia melontar diatas kendaraannya.
- Melontar
menggunakan kerikil baru yang belum dipakai baik oleh dirinya maupun orang
lain.
2. Imam Hanafi
Melontar jumrah bagi setiap orang yang melaksanakan haji.
Caranya hendaklah ia melontar jumrah Aqabah tujuh kali dari lembah dengan menggunakan
kerikil dan semacamnya yang bisa digunakan unutk tayammum sekalipun berupa
sepototng tanah, maka yang demikian itu dapat menggantikan satu kerikil. Dan
tidak boleh menggunakan kayu, anbar (batu mulia), mutiara, emas, perak,
permata, kotoran hewan, dan lain sebagainya, karena semua itu tidak termasuk
jinis tanah. Mengambil kerikil disamping jumrah hukumnya makruh, sebagaimana
menabur juga disampingnya. Dan dimakruhkan pula melontar lebih dari tujuh
kerikil. Ketika melontar disunatkan jaraknya antara pelontar dengan jumrah
(tempat kerikil dilontarkan) lima hasta, dan kerikil
itu hendaknya dipegang dengan ujung-ujung jemari tangannya. Jika ia telah
melontarkannya dan kerikil itu bisa sampai ke dekat jumrah dengan sendirinya ,
maka itu yang demikian itu boleh (sah). Sedang bila kerikil itu jatuh di tempat
yang jauh dari jumrah, maka yang demikian itu tidaj cukup, dan diwajibkan
melontar kerikil lain. Batas jauh yang dimaksud diperkirakan tiga hasta. Setiap
melontar hendaklah bertakbir dengan megucapkan
بِسْم اللّهِ اللّهُ
اَكْبَر
Dengan
nama Allah, Allah yang Maha Besar
Ketika pertama kali melontar hendaklah ia menghentikan
bacaan talbiyahnya. Dan dimakruhkan
memecahkan sebuah batu menjadi kerikil kecil untuk dipakai melontar.
Adapun waktu melontar jumrah Aqabah mulai fajr Nahr hingga
fajar hari kedua. Melakukan lebih awal dari waktu itu tidak sah, sedang
melakukan setelah batas tadi, berarti harus membayar dam. Kegiatan melontar ini
Mustahabb dilaksanakannya setelah terbitnya matahari hingga waktu zawal
(matahari tergelincir). Melaksanakan setelah waktu ini boleh hingga matahari
terbenam. Sedang melaksanakannya pada malam hari hukumnya makruh, sebagaimana
juga dimakruhkan melakukannya setelah terbit fajar hinga terbit matahari pada
hari Nahr. Kemudian pada hari kedua pada hari Nahr hendaklah melontar jumrah
yang tiga. Dan disunnatkan melontar memulai dari jumrah Ula (jumrah yang
pertama), yaitu yang terdapat di dekat Mesjid Khaif, kemudian jumrah Wusta dan
berikutnya jumrah Aqabah. Pada setiap jumrah dilontar tujuh kali dengan cara
yang telah dikemukakan terdahulu. Jika aturan terti ini ia balik, misalnya
dengan melontar jumrah Wustha sebelum jumrah Ula, maka disunnatkan mengulang
lagi lontarannya. Setelah menyempurnakan lontaran yang setelahnya disusul
dengan lontaran lain, disunnahkan berdiri (tenang) selama membaca ¾ juz’ dari
Al-Qur’an, yaitu sekitar 1/3 jam (20 menit).
Waktu melontar hari kedua dan ketiga, dimulai setelah
tergelincirnya matahari hingga terbenam. Melakukannya padawaktu malam hukumnya
makruh; sebelum tergelincirnya matahari tidak sah; dan setelah fajar pada hari
kedua mengharuskannya bayar dam, bila yang demikian itu dilakukan karena
menunda-nundanya. Dan hendaklah ia berdoa apa saja yang ia kehendaki untuk
dirinya dan orang lain dengan mengangkat kedua tangannya ke Kiblat atau
kelangit. Kemudian hendklah ia juga melakukan hal yang sama pada hari ketiga
dari hari-hari nahr demikian pula pada hari berikutnya jika masih disana, ia
boleh melontar dengan berjalan atau berkendaraan. Yang afdhal melontar jumrah
Ula dan Wustha adalah berjalan; sedangkan ketika melontar Aqabah disunnatkan
berkendaraan.
3.
Imam Hambali
Melontar jumrah secara
tertib, yaitu dengan memulai dari jumrah di dekat Masjid Khaif (jumrah Ula),
kemudian jumrah Wustha, kemudian jumrah Aqabah, kewajiban melontar ini tidak
sah menggunakan kerikil yang sangat kecil atau besar, atau kerikil bekas
dipakai orang lain; dan tidak sah pula dengan selain kerikil, seperti permata,
emas, dan lain-lain. Kerikil itu disyaratkan dilontar, maka tidak sah dengan
sekedar diletakkan di tempat sasaran (jumrah) tanpa melontarnya. Dan
disyaratkan pula agar kerikil itu dilontarkan satu-satu hingga sempurna tujuh
kali lontaran. Jika ia melontar lebih dari satu kerikil dalam sekali lontar,
maka yang demikian itu terhitung satu. Disyaratkan pula hendaknya ia tahu
(yakin) bahwa kerikil yang dilontarnya itu sampai kesasaran (jumrah). Maka
tidak cukup dengan sekedar menduga bahwa lontarannya itu sampai. Jika ia
melontar satu kerikil dan jatuh diluar sasaran,kemudian menggelinding hingga
jatuh ke tempat sasaran, maka yang demikian itu sah. Demikian juga bila kerikil
yang dilontarnya itu jatuh pada pakaian orang, lalu jatuh ke tempat sasaran,
sekalipun jatuhnya kerikil dari pakaian orang itu disenggol orang lain, maka
yang demikian itu juga sah.
Adapun waktu untuk
melontar, adalah dari tengah malam Nahr (10 dzulhijjah) bagi orang yang sudah
berwukuf dari sebelumnya di Arafah. Melontar itu tidak sah dilakukan pada
hari-hari tasyriq kecuali setelah tergelincirnya matahari.
4. Imam Maliki
Melontar
jumrah pada hari-hari tasyriq yang tiga (setelah hari nahr). Ketiga jumrah itu
dilntar setiap hari; setiap jumrah dilontar dengan tujjuh kerikil.
Adapun waktu
untuk melontar pada setiap harinya, mulai tergelincirnya matahari (zawal), maka
yang demikian itu tidak cukup; dan ia wajib membayar dam bila tidak
mengulangnya lagi setelah zawal. Jika ia tunda sampai malam atau samapai hari
kedua, maka ia wajib membayar dam. Melontar itu mandub dilaksanakan sebelum melaksanakan shalat zhuhur pada
setiap harinya.
-
Memulai melontar dari dari al-jumrah
al-kubra, yaitu yang terdapat di dekat Mesjid Mina (Mesjid al-Khaif), kemudian
Jumrah Wustha yang terdapat dipasar, kemudian diakhiri dengan melontar jumrah
Aqabah. Sedangkan pada hari Nahr (tanggal 10 dzulhijjah) tidaklah melontar
kecuali jumrah Aqabah, sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu.
- Sesuatu yang dilontarkan
itunharus jenis batu. Jika ia melontar denagn tanah kiat, maka yang demikian
itu tidak sah.
- Kerikil itu tidak terlalu
kecil seukuran biji gandum, melainkan hendaklah menggunaan kerikil yang biasa
dibuat lontar-lontaran anak kecil ketika bermain.
- Hendaklah kerikil itu di
letakkan antara telunjuk dan jempol tangan kirinya, kemudian di lontarkan
(disentil) dengan tekunjuk tangan kananya. Jika ia menggunakan kerikil yang
sangat kecil, maka tidak sah; dan jika melontar dengan yang besar, maka yang
denikian itu sah tapi hukumnya makruh. Sesuatu yang di lontarkan itu
disyaratkan suci. Jika ia melontar menggunakan kerikil yang mutanajis, maka itu
sah, tetapi disunnatkan (mandub) mengulang lontarannya dengan menggunakan yang
suci.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Imam Syafi’I Melontar jumrah, yaitu Jumrah Aqabah saja pada
hari nahr (tanggal 10 dzulhijjah) dan melontar ketiga setiap hari pada
hari-hari tasyriq yang tiga, yaitu tiga hari setelah hari nahr (tanggal 11, 12,
13 dzulhijjah). Waktu untuk melontar itu masuk mulai pertengahan malam nahr,
dengan syarat sebelumnya telah berwukuf, dan berlangsung hingga hari tasyriq.
·
Imam Hanafi waktu melontar jumrah Aqabah mulai fajr Nahr
hingga fajar hari kedua. Melakukan lebih awal dari waktu itu tidak sah, sedang
melakukan setelah batas tadi, berarti harus membayar dam. Kegiatan melontar ini
Mustahabb dilaksanakannya setelah terbitnya matahari hingga waktu zawal
(matahari tergelincir). Melaksanakan setelah waktu ini boleh hingga matahari
terbenam. Sedang melaksanakannya pada malam hari hukumnya makruh, sebagaimana
juga dimakruhkan melakukannya setelah terbit fajar hinga terbit matahari pada
hari Nahr. Kemudian pada hari kedua pada hari Nahr hendaklah melontar jumrah
yang tiga. Dan disunnatkan melontar memulai dari jumrah Ula (jumrah yang pertama),
yaitu yang terdapat di dekat Mesjid Khaif, kemudian jumrah Wusta dan berikutnya
jumrah Aqabah. Pada setiap jumrah dilontar tujuh kali dengan cara yang telah
dikemukakan terdahulu. Jika aturan terti ini ia balik, misalnya dengan melontar
jumrah Wustha sebelum jumrah Ula, maka disunnatkan mengulang lagi lontarannya.
Setelah menyempurnakan lontaran yang setelahnya disusul dengan lontaran lain,
disunnahkan berdiri (tenang) selama membaca ¾ juz’ dari Al-Qur’an, yaitu
sekitar 1/3 jam (20 menit).
·
Imam Hambali Adapun waktu untuk melontar, adalah dari
tengah malam Nahr (10 dzulhijjah) bagi orang yang sudah berwukuf dari
sebelumnya di Arafah. Melontar itu tidak sah dilakukan pada hari-hari tasyriq
kecuali setelah tergelincirnya matahari.
·
Imam Maliki Adapun waktu untuk
melontar pada setiap harinya, mulai tergelincirnya matahari (zawal), maka yang
demikian itu tidak cukup; dan ia wajib membayar dam bila tidak mengulangnya
lagi setelah zawal. Jika ia tunda sampai malam atau samapai hari kedua, maka ia
wajib membayar dam. Melontar itu mandub dilaksanakan sebelum melaksanakan shalat zhuhur pada
setiap harinya.
B. Saran-saran
·
Di harapkan agar mahasiswa mampu memahami dan mempelajari
tentang studi perbandingan Mazhab khususnya dibidang waktu melempar jumrah.
·
Dengan mempelajari hal tersebut Mahasiswa dan beserta
khalayak umum terhindar dari taqlid buta.
Bismillahirrahmanirrahim.
BalasHapusMelempar Jumrah melambangkan melempar setan yang diwakili oleh bentuk tugu obelisk. Tugu obelisk telah hadir diseluruh dunia yang melambangkan bahwa setan telah mengusai dunia.
Umat Islam melempar lambang setan (Jumroh) atau tugu obelisk, tapi sekarang JUMROH BUKAN BERBENTUK TUGU OBELISK LAGI..!
Jadi sekarang melempar apa?
sebuah peribahasa mengatakan, janganlah memakai Celana dalam di luar. mungkin itu cukup mewakili saudaraku.
BalasHapus