DAKWAH BANJAR

Sebuah Media Informasi. | مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ |"Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya."

Selasa, 28 Februari 2012

Waktu Melempar Jumrah


BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Haji artinya berziarah atau mengunjungi. Dalam istilah syara artinya menziarahi atau mengunjungi Ka’bah di Mekkah, dengan niat tertentu, waktu tertentu, dan cara-cara tertentu pula.

Ada beberapa syarat wajib haji, meninggalkan hal tersebut akan dikenakan dam (denda). Salah satu syarat wajibnya yaitu melempar jumrah. Melempar jumrah merupakan melontarkan batu sebanyak tujuh kali dengan niat ibadah. Jumrah adalah semacam batu,sebanyak tiga buah, dimina yang dahulunya digunakan iblis untuk menghalang-halangi Nabi Ibrahim ketika hendak melakukan ibadah kurban. Akan tetapi Nabi Ibrahim tidak tergoda dan beliau bertekad untuk melakukan kurban terhadap anaknya yang sangat disayanginya, Nabi Ismail. Dengan tidak ada tawar-menawar antara yang berkurban dan yang dikurbankan. Sebagai tanda bahwa ia lebih cinta kepada perintah Tuhan daripada anak dan keluarganya. Ketika jumrah itu bernama kubraa (Dunia), wustha, dan Aqabah. Sekarang ditandai dengan sebuah tembok di Mina, yang ditujukan unutkmemudahkan melempar oleh jemaah haji.
Untuk menentukan kapan waktu melempar jumrah tersebut diantara  para Ulama mazhab banyak terjadi perbedaan pendapat. Karena masing-masing mempunyai dalil-dalil. Sementara orang menyangka, bahwa perbedaan pendapat dalam masalah fiqih adalah karena semata-mata pendapat pribadi orangnya, sehingga munncullah mazhab dan pendapat-pendapat. Anggapan orang yang keliru didukug pula oleh sikap orang-orang yang “fanatic buta” terhadap mazhab dan mengangkat pendapat mazhb lebih tinggi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, di satu pihak dan pihak lain hampir semua kitab “matan” tidak menyebutkan sandaran pendapat Al-Qur’an atau As-Sunnah ataupun cara pengalisaannya.
Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para imam mazhab dan para ulama fiqih, sangat penting untuk membantu kita, agar keluar dari taqlid buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan pemikiran mereka dalam penetapan hukum suatu masalah. Sehingga dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam studi tentang hal yang diperselisihkan, meneliti sistem dan cara yang lebih baik, serta tepat dalam mengistinbatkan hukum juga dapat mengembangkan kemampuan dalam hukum fiqih bahkan akan terbuka kemungkinan untuk menjadi mujtahid.

B.  Tujuan Penulisan
1.      Agar menjadi bahan pikiran Mahasiswa untuk mempelajari dan mengetahui masalah dalam fiqih terutama dibidang masalah haji.
2.      Menjadi pelajaran penting agar terhindar dari taqlid buta dan dengan mempelajari hal tersebut Mahasiswa bisa memahami bahwa perbedaan itu pasti ada, dan perbedaan pendapat di kalangan para ulama itu menjadi rahmat.



















BAB II

PEMBAHASAN


A.  Waktu Melempar Jumrah
Ada beberapa pendapat Ulama Mazhab tentang permulaan waktu melempar jumrah, antara lain:
1.     Imam Syafi’I
Melontar jumrah, yaitu Jumrah Aqabah saja pada hari nahr (tanggal 10 dzulhijjah) dan melontar ketiga setiap hari pada hari-hari tasyriq yang tiga, yaitu tiga hari setelah hari nahr (tanggal 11, 12, 13 dzulhijjah). Waktu untuk melontar itu masuk mulai pertengahan malam nahr, dengan syarat sebelumnya telah berwukuf, dan berlangsung hingga hari tasyriq..
Permulaan melempar jumrah tersebut dilakukan apabila matahari telah tergelincir (telah condong) ke barat.
                        Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawu dan Baihaqi menyatakan:

“Dari Aisyah r.a. Bahwasanya Nabi SAW. tinggal di mekkah, sehingga beliau shalat dzuhur, kemudian ia kembali ke mina, lalu tinggal di sana selama hari Tasyriq yang tiga, beiau melempar jumrah pertama (jumrah Kubra), dengan tujuh buah batu apabila tergelincir matahari dan pada tiap-tiap melempar itu dibacanya takbir”. (H.R. Abu Dawud dan Baihaqi)

Kecuali melempar di hari Nahar, yang dilaksanakan ketika matahari naik.
Sebuah hadist menyatakan:
“ Dari Jabir r.a., ia berkata, ‘Rasulullah SAW. telah melempar jumrah di hari Nahr ketikamatahari naik. Dan sesudah itu, apabila matahari telah tergelincir.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud)

 Dalam hal ini harus benar-benar mempunyai makna melontar. Jika ia hanya meletakkan batu itu di tempat pelontaran, maka yang demikian itu tidak cukup. Demikian itu juga ia harus menyengaja datang ke tempat pelontaran. Maka ia tidak sah me;ontarkan batu diudara sekalipun batu itu jatuh disasaran. Dan lontaran itu tidak sah kecuali apabila batu itu benar-brnar mengenai sasaran.
Sedangkan lontaran yag sah menurut syara adalah lontaran yang menggunakan tangan, bukan menggunkan busur atau lainnya. Maka yang demikian it tidak sah kecuali karena udzur. Dan tidak sah dipakai melontar kecuali batu. Sdangkan melontar dengan mutiara, garam, batu bata, dan lain semacamnya, yang demikian itu tidak sah. Yang melontar iru harus yakin bahwa ia telah melontarkan tujuh butir kerikil pada tiap-tiap jumrah dari yang tiga. Yang demikian itu dilaksankan pada hari kedua (11 dzulhijjah) dan ketiga (12 dzulhijjah) dari hari-hari Id. Sebagimana juga harus benar-benar berjumlah tujuh lontaran kerikil pada  Jumrah Aqabah yang dilakukan pada hario Id. Jika ia ragu, maka hendaklah ia menyempurakan lontaranyan hinga benar-benar (diyakini) kerikil itu dilontarkan sebagaimana tadi, maka lonataran itu tidaklah dihitung kecuali satu. Dan ia harus menertibkan antara ketiga jumrah yang dilontarnya pada hari-hari tasyriq, yaitu dengan memulai melontar dari jumrah yang terdapat didekat Mesjid Khaif, kemudian jumrah Wustha, kemudian Jumrah Aqabah. Maka ia boleh pindah (dari satu Jumrah) ke Jumrah yang kain kecuali yang sebelumnya telah sempurna.
      Adapun sunat-sunat melontar, yaitu:
-     Mandi setiap hari sebelum melontar.
-     Mendahulukan shalat dzuhur pada hari-hari tasyriq.
-     Muwalat (runtun, berturut-turut) antara lontaran-lontaran itu dan antara satu jumrah dengan yang lain.
-     Melontar dengan tangan kanan, bila yang demikian itu mudah baginya.
-     Mencuci kerikil (yang hendak dilontarkan) bila pada kerikil tersebut terdapat najis.
-     Kerikil itu hendaklah dipilih yanglebih kecil dari ujung jari.
-     mengganti bacaan talbiyah dengan takbir pada lontaran kerikil pertama.
-     bila ia datang dari Mina dengan berkendaraan, maka hendaklah ia melontar diatas kendaraannya.
-     Melontar menggunakan kerikil baru yang belum dipakai baik oleh dirinya maupun orang lain.
2.   Imam Hanafi
Melontar jumrah bagi setiap orang yang melaksanakan haji. Caranya hendaklah ia melontar jumrah Aqabah tujuh kali dari lembah dengan menggunakan kerikil dan semacamnya yang bisa digunakan unutk tayammum sekalipun berupa sepototng tanah, maka yang demikian itu dapat menggantikan satu kerikil. Dan tidak boleh menggunakan kayu, anbar (batu mulia), mutiara, emas, perak, permata, kotoran hewan, dan lain sebagainya, karena semua itu tidak termasuk jinis tanah. Mengambil kerikil disamping jumrah hukumnya makruh, sebagaimana menabur juga disampingnya. Dan dimakruhkan pula melontar lebih dari tujuh kerikil. Ketika melontar disunatkan jaraknya antara pelontar dengan jumrah (tempat kerikil dilontarkan)  lima hasta, dan kerikil itu hendaknya dipegang dengan ujung-ujung jemari tangannya. Jika ia telah melontarkannya dan kerikil itu bisa sampai ke dekat jumrah dengan sendirinya , maka itu yang demikian itu boleh (sah). Sedang bila kerikil itu jatuh di tempat yang jauh dari jumrah, maka yang demikian itu tidaj cukup, dan diwajibkan melontar kerikil lain. Batas jauh yang dimaksud diperkirakan tiga hasta. Setiap melontar hendaklah bertakbir dengan megucapkan

بِسْم اللّهِ اللّهُ اَكْبَر                  
Dengan nama Allah, Allah yang Maha Besar
Ketika pertama kali melontar hendaklah ia menghentikan bacaan  talbiyahnya. Dan dimakruhkan memecahkan sebuah batu menjadi kerikil kecil untuk dipakai melontar.
Adapun waktu melontar jumrah Aqabah mulai fajr Nahr hingga fajar hari kedua. Melakukan lebih awal dari waktu itu tidak sah, sedang melakukan setelah batas tadi, berarti harus membayar dam. Kegiatan melontar ini Mustahabb dilaksanakannya setelah terbitnya matahari hingga waktu zawal (matahari tergelincir). Melaksanakan setelah waktu ini boleh hingga matahari terbenam. Sedang melaksanakannya pada malam hari hukumnya makruh, sebagaimana juga dimakruhkan melakukannya setelah terbit fajar hinga terbit matahari pada hari Nahr. Kemudian pada hari kedua pada hari Nahr hendaklah melontar jumrah yang tiga. Dan disunnatkan melontar memulai dari jumrah Ula (jumrah yang pertama), yaitu yang terdapat di dekat Mesjid Khaif, kemudian jumrah Wusta dan berikutnya jumrah Aqabah. Pada setiap jumrah dilontar tujuh kali dengan cara yang telah dikemukakan terdahulu. Jika aturan terti ini ia balik, misalnya dengan melontar jumrah Wustha sebelum jumrah Ula, maka disunnatkan mengulang lagi lontarannya. Setelah menyempurnakan lontaran yang setelahnya disusul dengan lontaran lain, disunnahkan berdiri (tenang) selama membaca ¾ juz’ dari Al-Qur’an, yaitu sekitar 1/3 jam (20 menit).
Waktu melontar hari kedua dan ketiga, dimulai setelah tergelincirnya matahari hingga terbenam. Melakukannya padawaktu malam hukumnya makruh; sebelum tergelincirnya matahari tidak sah; dan setelah fajar pada hari kedua mengharuskannya bayar dam, bila yang demikian itu dilakukan karena menunda-nundanya. Dan hendaklah ia berdoa apa saja yang ia kehendaki untuk dirinya dan orang lain dengan mengangkat kedua tangannya ke Kiblat atau kelangit. Kemudian hendklah ia juga melakukan hal yang sama pada hari ketiga dari hari-hari nahr demikian pula pada hari berikutnya jika masih disana, ia boleh melontar dengan berjalan atau berkendaraan. Yang afdhal melontar jumrah Ula dan Wustha adalah berjalan; sedangkan ketika melontar Aqabah disunnatkan berkendaraan.
                  3.   Imam Hambali
         Melontar jumrah secara tertib, yaitu dengan memulai dari jumrah di dekat Masjid Khaif (jumrah Ula), kemudian jumrah Wustha, kemudian jumrah Aqabah, kewajiban melontar ini tidak sah menggunakan kerikil yang sangat kecil atau besar, atau kerikil bekas dipakai orang lain; dan tidak sah pula dengan selain kerikil, seperti permata, emas, dan lain-lain. Kerikil itu disyaratkan dilontar, maka tidak sah dengan sekedar diletakkan di tempat sasaran (jumrah) tanpa melontarnya. Dan disyaratkan pula agar kerikil itu dilontarkan satu-satu hingga sempurna tujuh kali lontaran. Jika ia melontar lebih dari satu kerikil dalam sekali lontar, maka yang demikian itu terhitung satu. Disyaratkan pula hendaknya ia tahu (yakin) bahwa kerikil yang dilontarnya itu sampai kesasaran (jumrah). Maka tidak cukup dengan sekedar menduga bahwa lontarannya itu sampai. Jika ia melontar satu kerikil dan jatuh diluar sasaran,kemudian menggelinding hingga jatuh ke tempat sasaran, maka yang demikian itu sah. Demikian juga bila kerikil yang dilontarnya itu jatuh pada pakaian orang, lalu jatuh ke tempat sasaran, sekalipun jatuhnya kerikil dari pakaian orang itu disenggol orang lain, maka yang demikian itu juga sah.
         Adapun waktu untuk melontar, adalah dari tengah malam Nahr (10 dzulhijjah) bagi orang yang sudah berwukuf dari sebelumnya di Arafah. Melontar itu tidak sah dilakukan pada hari-hari tasyriq kecuali setelah tergelincirnya matahari.
4.   Imam Maliki
Melontar jumrah pada hari-hari tasyriq yang tiga (setelah hari nahr). Ketiga jumrah itu dilntar setiap hari; setiap jumrah dilontar dengan tujjuh kerikil.
Adapun waktu untuk melontar pada setiap harinya, mulai tergelincirnya matahari (zawal), maka yang demikian itu tidak cukup; dan ia wajib membayar dam bila tidak mengulangnya lagi setelah zawal. Jika ia tunda sampai malam atau samapai hari kedua, maka ia wajib membayar dam. Melontar itu mandub dilaksanakan  sebelum melaksanakan shalat zhuhur pada setiap harinya.
                        Ada beberapa ketentuan  syarat sahnya melontar, yaitu;
-       Memulai melontar dari dari al-jumrah al-kubra, yaitu yang terdapat di dekat Mesjid Mina (Mesjid al-Khaif), kemudian Jumrah Wustha yang terdapat dipasar, kemudian diakhiri dengan melontar jumrah Aqabah. Sedangkan pada hari Nahr (tanggal 10 dzulhijjah) tidaklah melontar kecuali jumrah Aqabah, sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu.
-       Sesuatu yang dilontarkan itunharus jenis batu. Jika ia melontar denagn tanah kiat, maka yang demikian itu tidak sah.
-       Kerikil itu tidak terlalu kecil seukuran biji gandum, melainkan hendaklah menggunaan kerikil yang biasa dibuat lontar-lontaran anak kecil ketika bermain.
-       Hendaklah kerikil itu di letakkan antara telunjuk dan jempol tangan kirinya, kemudian di lontarkan (disentil) dengan tekunjuk tangan kananya. Jika ia menggunakan kerikil yang sangat kecil, maka tidak sah; dan jika melontar dengan yang besar, maka yang denikian itu sah tapi hukumnya makruh. Sesuatu yang di lontarkan itu disyaratkan suci. Jika ia melontar menggunakan kerikil yang mutanajis, maka itu sah, tetapi disunnatkan (mandub) mengulang lontarannya dengan menggunakan yang suci.




  



BAB III
PENUTUP


A.     Kesimpulan
·         Imam Syafi’I Melontar jumrah, yaitu Jumrah Aqabah saja pada hari nahr (tanggal 10 dzulhijjah) dan melontar ketiga setiap hari pada hari-hari tasyriq yang tiga, yaitu tiga hari setelah hari nahr (tanggal 11, 12, 13 dzulhijjah). Waktu untuk melontar itu masuk mulai pertengahan malam nahr, dengan syarat sebelumnya telah berwukuf, dan berlangsung hingga hari tasyriq.
·         Imam Hanafi waktu melontar jumrah Aqabah mulai fajr Nahr hingga fajar hari kedua. Melakukan lebih awal dari waktu itu tidak sah, sedang melakukan setelah batas tadi, berarti harus membayar dam. Kegiatan melontar ini Mustahabb dilaksanakannya setelah terbitnya matahari hingga waktu zawal (matahari tergelincir). Melaksanakan setelah waktu ini boleh hingga matahari terbenam. Sedang melaksanakannya pada malam hari hukumnya makruh, sebagaimana juga dimakruhkan melakukannya setelah terbit fajar hinga terbit matahari pada hari Nahr. Kemudian pada hari kedua pada hari Nahr hendaklah melontar jumrah yang tiga. Dan disunnatkan melontar memulai dari jumrah Ula (jumrah yang pertama), yaitu yang terdapat di dekat Mesjid Khaif, kemudian jumrah Wusta dan berikutnya jumrah Aqabah. Pada setiap jumrah dilontar tujuh kali dengan cara yang telah dikemukakan terdahulu. Jika aturan terti ini ia balik, misalnya dengan melontar jumrah Wustha sebelum jumrah Ula, maka disunnatkan mengulang lagi lontarannya. Setelah menyempurnakan lontaran yang setelahnya disusul dengan lontaran lain, disunnahkan berdiri (tenang) selama membaca ¾ juz’ dari Al-Qur’an, yaitu sekitar 1/3 jam (20 menit).
·         Imam Hambali Adapun waktu untuk melontar, adalah dari tengah malam Nahr (10 dzulhijjah) bagi orang yang sudah berwukuf dari sebelumnya di Arafah. Melontar itu tidak sah dilakukan pada hari-hari tasyriq kecuali setelah tergelincirnya matahari.
·         Imam Maliki Adapun waktu untuk melontar pada setiap harinya, mulai tergelincirnya matahari (zawal), maka yang demikian itu tidak cukup; dan ia wajib membayar dam bila tidak mengulangnya lagi setelah zawal. Jika ia tunda sampai malam atau samapai hari kedua, maka ia wajib membayar dam. Melontar itu mandub dilaksanakan  sebelum melaksanakan shalat zhuhur pada setiap harinya.
B.     Saran-saran
·         Di harapkan agar mahasiswa mampu memahami dan mempelajari tentang studi perbandingan Mazhab khususnya dibidang waktu melempar jumrah.
·         Dengan mempelajari hal tersebut Mahasiswa dan beserta khalayak umum terhindar dari taqlid buta.

2 komentar:

  1. Bismillahirrahmanirrahim.
    Melempar Jumrah melambangkan melempar setan yang diwakili oleh bentuk tugu obelisk. Tugu obelisk telah hadir diseluruh dunia yang melambangkan bahwa setan telah mengusai dunia.
    Umat Islam melempar lambang setan (Jumroh) atau tugu obelisk, tapi sekarang JUMROH BUKAN BERBENTUK TUGU OBELISK LAGI..!
    Jadi sekarang melempar apa?

    BalasHapus
  2. sebuah peribahasa mengatakan, janganlah memakai Celana dalam di luar. mungkin itu cukup mewakili saudaraku.

    BalasHapus

DAKWAH BANJAR | هذا من فضل ربي