A. Empirisme
Empirisme adalah salah
satu aliran dalam filosuf yang menekankan pengalaman dalam memperoleh
pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.
Istilah Empirisme diambil dari bahasa
yunani empiria yang berarti coba-coba
atau pengalaman. Aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan manusia berdasarkan
pengalaman. Atau meminjam kata-kata John Locke, salah satu dedengkotnya…
“Manusia itu ibarat tabula rasa yang nantinya akan diwarnai oleh keadaan
eksternalnya”. Dan Empirisme adalah lawan Rasionalisme.
Filsafat empirisme tentang teori makna amat berdekatan
dengan aliran Positivisme Logis (logical positivisme) dan filsafat Ludwig
Wittegenstein, akan tetapi teori makna dan empirisme selalu harus dipahami
lewat penafsiran pengalaman.
Filsafat empirisme dengan teori yang kedua, yaitu teori
pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut. Menurut orang rasionalis ada
beberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian tentu mempunyai sebab, dan
kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah
kebenaran apriori yang diperoleh lewat intuisi rasional.
Diantara tokoh dan pengikut aliran empirisme adalah Francis
Bacon, Thomas Hobbes, John Locke, David Hume, George Barkeley, dan Herbert
Spencer.
1.
Francis Bacon (1210-1292 M)
Menurut Francis
Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang
melalui persentuhan inderawi dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber
pengetahuan yang sejati. Pengetahuan haruslah dicapai dengan induksi.
2.
Thomas Hobbes (1588-1679 M)
Menurut Thomas
Hobbes berpendapat bahwa pengalamn inderawi sebagai permulaan segala
pengenalan, hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan inderalah yang merupakan
kebenaran. Pengetahuan intelektual (rasio) tidak lain hanyalah merupakan
penggabungan data-data inderawi belaka.
3.
John Locke (1632-1704 M)
Ia adalah
filosuf Inggris yang banyak mempelajari agama Kristen. Ia menerima keraguan
sementara yang di ajarkan oleh Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang
digunakan oleh Descartes, ia juga menolak metode deduktif Descartes dan
menggantinya dengan generalisasiberdasarkan pengalaman.
4.
David Hume (1711-1776 M)
Dalam
pemikiran David Hume yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan.
Pengalamn itu bersifat lahiriah (yang menyangkut dunia), maupun batiniah (yang
menyangktu pribadi manusia).
Hume tidak
menerima subtansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa
ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah
hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan
seperti itu.
5.
Herbert Spencer (1820-1903 M)
Filsafat Herbert
Spencer berpusat pada teori evolusi. Menurut Spencer, kita hanya dapat
mengenali fenomena-fenomena atau gejala-gejal, memang benar dibelakang
gejala-gejala itu ada suatu dasar absolute, tetapi yang absolute itu tidak
dapat kita kenal.
B. Positivisme
Positivisme adalah aliran
filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif, sesuatu yang diluar fakta
atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang mengalalami
banyak perubahan mendasar dalam perjalanan sejarahnya. Istilah ini kemudian
digunakan oleh Agust Comte (1798-1857 M) dan dipatok secara mutlak sebagai
tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat. Agust Comte
berkeyakinan bahwa makrifat-makrifat manusia melewati tiga (3) tahapan sejarah
: pertama, tahapan agama dan
ketuhanan, pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi
hanya berpegang kepada kehendak Tuhan; kedua,
adalah tahapan filsafat, yang menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman
metafisika seperti kauslitas, subtansi, dan aksiden, esensi dan eksistensi; dan
adapun positivisme sebagai tahapan ketiga,
menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya
mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.
Menurut Agust Comte, perkembangan pemikiran manusia baik
perorangan maupun bangsa melalui tiga zaman; yaitu zaman teologis, metafisis,
dan positif. Zaman teologis adalah zaman dimana manusia percaya dibelakang
gejala-gejala alam, terdapat kuasa-kuasa akrodati yang mengatur fungsi dan
gerak gejala-gejala tersebut. Zaman metafisis adalah kekuatan yang adi kodrati
diganti dengan ketentuan-ketentuan abstrak. Zaman positif yaitu ketika orang
tidak lagi berusaha mencapai pengetahuan tentang yang mutlak baik teologis
maupun metafisis.
Hukum tiga tahap ini tidak hanya berlaku bagi perkembangan
rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi setiap perseorangan.
Urutan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan tersusun sedemikian rupa, sehingga yang
satu selalu mengandalkan semua ilmu yang mendahuluinya.
C. Pragmatisme
Aliran ini pertama kali
tumbuh di Amerika pada tahun 1878M. Ketika itu Charles Sanders Pierce
(1839-1914M) menerbitkan sebuah makalah yang berjudul “How to make our ideas
clear”. Namun pragmatisme sendiri lahir ketika William James membahas
makalahnya yang berjudul “Philosophycal conceptions and pratical result”
(1898M) dan mendaulat Pierce sebagai bapak pragmatisme. Selanjutnya aliran ini
makin berkembang berkat kerja keras dari William James dengan berbagai karya
tulisnya. John Dewey juga ikut mengambil bagian dalam mempopulerkan aliran ini.
Namun ia dan para pengikutnya lebih suka menyebut filsafatnya sebagai
Instrumentalisme.
Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme.
Pragma berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau perbuatan. Kata
ini sering sekali diucapkan orang yang biasanya dipahami dengan pengertian
praktis. Sedangkan pengertian Isme sama dengan pengertian isme-isme yang
lainnya, yang merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran berpikir. Dengan
demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan.
Pragmatisme menganggap bahwa suatu teori dapat dikatakan benar apabila teori
itu bekerja. Ini berarti Pragmatisme dapat digolongkan kedalam pembahasan
tentang makna kebenaran atau theory of
thurth. Hal ini dapat kita lihat dalam buku William James yang berjudul The
meaning of thurth. Menurut james kebenaran adalah sesuatu yang terjadi pada
ide. Menurutnya kebenaran adalah sesuatu yang tidak statis dan tidak mutlak.
Dengan demikian kebenaran adalah sesuatu yang bersifat relative. Hal ini dapat
dijelaskan melalui sebuah contoh. Misalnya ketika kita menemukan sebuah teori
yang masih bersifat relative sebelum kita membuktikan sendiri kebenaran dari
teori itu.
Menurut james, dunia tidak dapat diterangkan dengan
berpangkal pada satu asas saja. Dunia adalah dunia yang terdiri dari banyak hal
yang saling bertentangan. Tentang kepercayaan agama dikatakan, bagi
orang-perorangan, kepercayaan adanya suatu realitas cosmis lebih tinggi itu
merupakan nilai subyektif yang relative, sepanjang kepercayaan itu memberikan
kepadanya suatu hiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan damai,
keamanan dan sebagainya. Segala macam pengalaman keagamaan mempunyai nilai yang
sama, jikalau akibatnya sama-sama memberikan kepuasan kepada kebutuhan
keagamaan. Filsafat mulanya, sampai kapan pun merupakan usaha menjawab
pertayaan yang penting-penting. James membawa pragmatisme. Isme ini diturunkan
kepada Dewey yang mempraktekanya dalam pendidikan. Dengan kata lain, orang yang
paling bertanggung jawab terhadap generasi Amerika sekarang adalah William
James dan John Dewey.
D. Fenomenologi
Fenomenologi bersal dari kata fenomen yang artinya gejala, yaitu suatu hal yang tidak nyata dan semu. Kebalikannya
kenyataan, juga dapat diartikan sebagai ungakapan kejadian yang diamati lewat
indera. Misalnya, penyakit flu gejalanya batuk, pilek.
Sebagai sebuah arah
baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859-1938M),
untuk mematok suatu dasar yang tak dapat di bantah, ia memakai apa yang
disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam
mengembangkan fenomenologi. Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu
analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk
kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estesis,
konseptual, serta inderawi.
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode,
fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita
sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan
ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada
kesadaran.
Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua
posisi. Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua,
ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant,
terutama konsepnya tentang fenomena-noumena. Kant menggunakan kata fenomena
untuk menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah
realitas (das Ding an Sich) yang berada diluar kesadaran pengamat.
Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan
apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa
adanya, tanpa memasukan kategori pikiran kita padanya. Sebagai reaksi terhadap
positivisme, filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila
dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara ontologis, epistemologis,
maupun axiologis.
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin
keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan sesuatu yang
berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Sebagai suatu metode
keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagai adanya dengan
tidak memanipulasi data.
Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai
kebulatan yang utuh tidak terpisah dari objek lainnya. Dibalik
kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai
kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni
objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat,
agama, ataupun ilmu pengethuan. Fenomenologi memberikan peran terhadap subjek
untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati. Dengan demikian, pengetahuan atau
kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus
tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan
ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat
digeneralisasi.
PENUTUP
A.Empirisme
Dari pembahasan diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa Empirisme bukan saja berkaitan dengan tugas
pengumpulan data. Tetapi sejak awal pengkajian masalah sebenarnya kerja
empirisme sudah terlibat. Karena empirisme adalah salah satu aliran dalam
filosuf yang menekankan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta
pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.
Filsafat empirisme tentang teori makna amat berdekatan
dengan aliran Positivisme Logis (logical positivisme) dan filsafat Ludwig
Wittegenstein, akan tetapi teori makna dan empirisme selalu harus dipahami
lewat penafsiran pengalaman.
Filsafat empirisme dengan teori yang kedua, yaitu teori
pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut. Menurut orang rasionalis ada
beberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian tentu mempunyai sebab, dan
kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah
kebenaran apriori yang diperoleh lewat intuisi rasional.
Diantara tokoh dan pengikut aliran empirisme adalah Francis
Bacon, Thomas Hobbes, John Locke, David Hume, George Barkeley, dan Herbert
Spencer.
B. Positivisme
Kesimpulan dari semua
pandangan positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang
positif, sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan
filsafat dan ilmu pengetahuan.
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang mengalalami
banyak perubahan mendasar dalam perjalanan sejarahnya. Istilah ini kemudian
digunakan oleh Agust Comte (1798-1857 M) dan dipatok secara mutlak sebagai
tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat. Agust Comte
berkeyakinan bahwa makrifat-makrifat manusia melewati tiga (3) tahapan sejarah
: pertama, tahapan agama dan
ketuhanan, pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya
berpegang kepada kehendak Tuhan; kedua,
adalah tahapan filsafat, yang menjelaskan fenomena-fenomena dengan
pemahaman-pemahaman metafisika seperti kauslitas, subtansi, dan aksiden, esensi
dan eksistensi; dan adapun positivisme sebagai tahapan ketiga, menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat
serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.
C. Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari
dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan
atau perbuatan. Kata ini sering sekali diucapkan orang yang biasanya dipahami
dengan pengertian praktis. Sedangkan pengertian Isme sama dengan pengertian
isme-isme yang lainnya, yang merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran
berpikir. Dengan demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu
mengikuti tindakan. Pragmatisme menganggap bahwa suatu teori dapat dikatakan
benar apabila teori itu bekerja. Ini berarti Pragmatisme dapat digolongkan
kedalam pembahasan tentang makna kebenaran atau theory of thurth. Hal ini dapat kita lihat dalam buku William James
yang berjudul “The meaning of thurth”. Menurut James kebenaran adalah sesuatu
yang terjadi pada ide. Menurutnya kebenaran adalah sesuatu yang tidak statis
dan tidak mutlak. Dengan demikian kebenaran adalah sesuatu yang bersifat
relative. Hal ini dapat dijelaskan melalui sebuah contoh. Misalnya ketika kita
menemukan sebuah teori yang masih bersifat relative sebelum kita membuktikan
sendiri kebenaran dari teori itu.
D. Fenomenologi
Fenomenologi bersal dari
kata fenomen yang artinya gejala,
yaitu suatu hal yang tidak nyata dan
semu. Kebalikannya kenyataan, juga dapat diartikan sebagai ungkapan kejadian
yang diamati lewat indera. Misalnya, penyakit flu gejalanya batuk, pilek.
Sebagai sebuah arah
baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859-1938M),
untuk mematok suatu dasar yang tak dapat di bantah, ia memakai apa yang
disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam
mengembangkan fenomenologi. Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu
analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk
kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estesis,
konseptual, serta inderawi
DAFTAR PUSTAKA
·
Bagus, Lorens, 1996, kamus
filsafat, Jakarta: Grramedia.
·
Delgaauw, Bernand, 2001,
filsafat abad 20, ter. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara wacana.
·
Ghazali, Adeng Muchtar,
2005, Ilmu Studi Agama, Bandung: Pustaka setia.
·
Muslih, Moh., 2005,
filsafat ilmu: kajian atas asumsi dasar, paradigma dan kerangka teori ilmu
pengetahuan, Yogyakarta: belukar.
·
Sutrisno, FX. Mudji, dan
F. Budi Hardiman, (eds), 1992, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta:
kanisius.
� a �j �We i dogmatis Positivisme dan Materialisme.
Gerakan inilah disebut Neo-Kantianisme, sebagai tokohnya : Wilhelm windelband
(1848-1915), Herman Cohen (1842-1918), Paul Natrop (1854-1924), Heinrich
Reickhart (1863-1939).
3.
Filsafat hidup adalah aliran filsafat yang lahir akibat dari
reaksi dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan toknologi yang menyebabkan
industralisasi semakin pesat.
4.
Pada pengetahuan abad ke- 19, di
tengah-tengah gereja Katolik banyak penganut paham Thomisme, yaitu aliran yang mengikuti
paham Thomas Aquinas.
5.
Pertama: paham yang
menganggap bahwa tujuan Thomas sudah sempurna. Kedua, paham yang
menganggap bahwa walaupun ajaran Thomas telah sempurna akan tetapi masih
terdapat hal-hal yang pada suatu saat belum dibahas.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi, Asmoro. 2003. Filsafat Umum. Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada.
Frasetya, 1997. Filsafat Pendidikan .
Bandung : Pustaka Setia.
Syadali Ahmad. Drs.H,MA. Mudzakir. Drs. 1997. Filsafat
Umum. Bandung : Pustaka Setia.
gn:jus< � ; e �We �e :
18.0pt;line-height:150%'>Neo-platonisme dengan unsur-unsur tersebut datang
dan bersatu dengan kaum muslimin melalui aliran masehi timur dekat, tetapi
dengan baju lain, yaitu tasawuf timur dan pengakuan akan keesaan Tuhan, yang
pertama dengan ketunggalan yang sebenar-benarnya.
Perbeadaan neo-platonisme dengan aliran iskandari yang berkembang sejak
pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 ialah:
Neo-Platonisme
|
Aliran
Iskandariah
|
1. berkisar
pada segi metafisika pada filsafat yunani yang mungkin dalam beberapa hal
berlawanan dengan agama masehi.
2. lebih
banyak mendasarkan pikirannya pada seleksi dan pemaduan
|
1. lebih
condong kepada matematika serta ilmu alam, meninggalkan lapangan metafiika,
dan tidak berlawanan dengan agama masehi.
2. lebih
banyak membuat ulasan-ulasan terhadap pikiran-pikiran filsafat.
|
Platinus
adalah tokoh yang terpenting. Ia mendasarkan atas dua dialektika (dua jalan),
yaitu:
-
Dialektika menurun
-
Dilektika menarik
Dialektika menurun digunakan untuk menjelaskn wujud
tertinggi (the Highest Being, atau the First, atau At-Tabiatul-ula, atau
Wujudul Awwal) dan cara keluarnya alam dari-Nya.
Dengan penjelasan terhadap wujud tertinggi itu
Platonus terkenal dengan teorinya Yang Esa atau Esanya Platonus. Dengan penjelasan kedua, yaitu
keluarnya alam dari Yang Esa, ia sampai kepada kesimpulan bahwa semua wujud,
termasuk didalamnya wujud pertama (Tuhan), merupakan rangkaian mata rantai yang
kuat erat, dan terkenal dengan istilah kesatuan wujud (wihdatul-wujud).
Pada akhir masa kuno. Neo-platonisme merupakan
aliran intelektual yang dominan di hampir seluruh wilayah Hellenistik, sehingga
seakan-akan neo-platonisme bersaingan dengan pandangan dunia yang berdasarkan
agama kristen. Perhyrios (232-301 M) murid platinus menulis suatu karya yang
dengan tajam menyerang agama kristen.
Namun pada tahun 529 M kaisar Jurtianus dari
Byzantium pelindung agama kristen menutup semua sekolah filsafat Yunani di
Athena. Peristiwa itu diangagap sebagai akhir masa yunani purba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar