DAKWAH BANJAR

Sebuah Media Informasi. | مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ |"Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya."

Selasa, 28 Februari 2012

Makanan baik dan Halal


BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
               Islam, dengan sangat terang menegaskan, bahwa kewajiban setiap ayah untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Allah berfirman: “Dan menjadi kewajiban para ayah, untuk memberi makanan dan pakaian kepada istri dan anak-anaknya” (QS. Al-Baqarah:233).
 Adapun bagi para ibu, tidak ada kewajiban baginya untuk menafkahi keluarga. jika kemudian pada perkembangannya para ibu bekerja untuk membantu tugas para ayah memenuhi kebutuhan keluarga dengan tetap menjaga kehormatan diri ketika keluar rumah, ia akan diberi pahala shadaqah atas apa yang diberikannya.
Allah sangat menghargai setiap nafkah yang diberikan kepada keluarga. Bahkan, menjanjikan pahala yang lebih besar dari infaq untuk fi sabilillah sekalipun. Padahal, Allah sendiri yang menyatakan bahwa orang yang menginfakkan harta untuk fi sabilillah akan dibalas kebaikan dengan tujuh ratus kali lipatnya (QS. Al-Baqarah:261).
Rasulullah saw. bersabda

                                          طَلَبُ الحَلاَلِِ فَرِضَة عَلى كُلِّ مُسْلِمٍٍٍ
                                                                                     (رواه ابن مسعود رضى الله عنه)
Artinya:
“mencari yang halal itu adalah wajib bagi setiap orang Islam.”
                                                                                    (HR.Ibnu Mas’ud)
      Kewajiban mencari yang halal ini dari seluruh kewajiban agama, adalah yang paling sulit untuk fikran memahaminya, dan yang paling dan yang paling berat untuk anggota melaksanakannya. Dari itu hilanglah ia secara keseluruhan di bidang ilmu dan amal.
      Lenyapnya dibidang ilmu, menyebabkan pula tak ada pedoman beramal, sehngga orang-orang yang bodoh menganggap bahwa yang sebenarnya halal tdak ada, dan jalan menuju rezeki yang halal ini adalah tertutup. Rezeki yang halal dan baik, tiada lain kecual air sungai furat dan rumput belukar yang tumbuh di hutan. Sedangkan yang lain dar itu dikotorkan oleh tangan-tangan jahil, dan dirusakkan oleh jual beli yang fasid (batal).
      Apabila tidak mungkin memadamkan dengan memaka rumput-rumput belukar, maka tidak ada jalab lain lagi kecuali menerobos bidang yang haram. Mereka meniadakan sama sekali bidang yang dihalalkan agama, dan tak mau membedakan dan member batasan dari kebenaran, karena bukankah: “Apa-apa yang halal itu sudah jelas dan apa-apas yang haram itupun sudah jelas pula, sedang diantara kedua perkara itu ada beberapa hal yang syubhat (serupa yakni bentu halal haramnya)”. Ketiga corak ni adalah sambung bersambung, kebidang manapun jua dibawa.
            Untuk menilai kehalalan atau keharaman nafkah, paling tidak dapat dilihat dari tiga sisi:
1. Wujudnya/zatnya. Dari sisi wujud atau zat, nafkah yang halal adalah nafkah yang tidak termasuk dalam kategori makanan atau minuman yang diharamkan oleh syariat, seperti daging babi, darah, bangkai, khamr (minuman yang memabukkan) dan lain-lain.
2. Sumber atau cara memperolehnya. Nafkah yang halal merupakan nafkah yang diperoleh dengan cara-cara yang direstui syariat, dan tidak dengan cara yang diharamkan. Cara-cara yang diharamkan, di antaranya, nafkah dari hasil menipu, transaksi riba, korupsi dan mencuri.
3. Tidak bercampur dengan harta (hak milik) orang lain. Dalam arti, telah dikeluarkan shadaqahnya. Baik shadaqah wajib (Zakat) maupun sunnah (infak). Firman Allah: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang-orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” (Qs. Ad-Dzariat:19).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita dalam banyak hadits, urgensi mencari rezeki yang halal ini. Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda (artinya): Tidak ada satu pun amalan yang mendekatkan kalian ke surga, melainkan telah aku perintahkan kalian kepadanya. Dan tidak ada satu pun amalan yang mendekatkan kalian ke neraka, melainkan aku telah melarang kalian darinya. Janganlah kalian menganggap rezeki kalian terhambat. Sesungguhnya, Malaikat Jibril telah mewahyukan ke dalam hati sanubariku, bahwa tidak ada seorang pun meninggalkan dunia ini, melainkan setelah sempurna rezekinya. Bertakwalah kamu kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah rezeki dengan cara yang baik. Jika ada yang merasa rezekinya terhambat, maka janganlah ia mencari rezki dengan berbuat maksiat, karena karunia Allah tidaklah di dapat dengan perbuatan maksiat. [HR Al Hakim dan selainnya].
         Islam juga memandang bahwa bekerja merupakan satu kewajiban bagi setiap insan. Karena dengan bekerja, seseorang akan memperoleh penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan juga keluarganya serta dapat memberikan maslahat bagi masyarakat di sekitarnya. Oleh karenanya Islam bahkan mengkategorikan bekerja sebagai ibadah, yang diperintahkan oleh Allah SWT :
“Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan".
Dari Ka'ab bin Umrah berkata, "Ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah SAW. Orang itu sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat lalu berkata, 'Ya Rasulullah, andaikata bekerja seperti dia dapat digolongkan fi sabilillah, alangkah baiknya.' Lalu Rasulullah bersabda, 'Jika ia bekerja untuk mengidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; Jika ia bekerja untuk membela kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; dan jika ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, maka itu adalah fi sabilillah... (HR. Thabrani)

Riwayat-riwayat di atas sudah lebih dari cukup bagi seorang mu'min untuk menjadi motivator dalam bekerja, terlebih-lebih bekerja di Lembaga Keuangan Syariah, yang memiliki visi untuk merealisasikan syariat Allah di muka bumi ini. Oleh karenanya seorang muslim yang baik adalah yang bekerja dengan penuh kesungguhan dan ketekunan. Karena selain mendapatkan penghasilan untuk kehidupan dunianya, ia juga mendapatkan beribu kebaikan untuk kehidupannya di akhirat kelak.

                        Seorang insan minimal sekali diharuskan untuk dapat memberikan nafkah kepada dirinya sendiri, dan juga kepada keluarganya.
 Dalam Islam terdapat banyak sekali ibadah yang tidak mungkin dilakukan tanpa biaya & harta, seperti zakat, infak, shadaqah, wakaf, haji dan umrah. Sedangkan biaya/ harta tidak mungkin diperoleh tanpa proses kerja. Maka bekerja untuk memperoleh harta dalam rangka ibadah kepada Allah menjadi wajib. Kaidah fiqhiyah mengatakan : “Suatu kewajiban yang tidak bisa dilakukan melainkan dengan pelaksanaan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.”

         Keutamaan (Fadhilah) Bekerja Dalam Islam  Orang yang ikhlas bekerja akan mendapatkan ampunan dosa dari Allah SWT. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
         Barang siapa yang sore hari duduk kelelahan lantaran pekerjaan yang telah dilakukannya, maka ia dapatkan sore hari tersebut dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT. (HR. Thabrani)
                               Akan diampuninya suatu dosa yang tidak dapat diampuni dengan shalat, puasa, zakat, haji & umrah. Dalam sebuah riwayat dikatakan :
‘Sesungguhnya diantara dosa-dosa itu, terdapat satu dosa yang tidak dapat dihapuskan dengan shalat, puasa, haji dan umrah.’ Sahabat bertanya, ‘Apa yang dapat menghapuskannya wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Semangat dalam mencari rizki.’ (HR. Thabrani)
Mendapatkan ‘Cinta Allah SWT’. Dalam sebuah riwayat digambarkan :
Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mu’min yang giat bekerja. (HR. Thabrani)
Terhindar dari azab neraka.
            Dalam sebuah riwayat dikemukakan, "Pada suatu saat, Saad bin Muadz Al-Anshari berkisah bahwa ketika Nabi Muhammad SAW baru kembali dari Perang Tabuk, beliau melihat tangan Sa'ad yang melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman karena diterpa sengatan matahari. Rasulullah bertanya, 'Kenapa tanganmu?' Saad menjawab, 'Karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku." Kemudian Rasulullah SAW mengambil tangan Saad dan menciumnya seraya berkata, 'Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka'" (HR. Tabrani)

B.        Metode Penulisan
            Metode penulisan yang digunakan dalam penyelesaian makalah ini melalui pemgumpulan data dengan alat bantu dari beberapa buku dan artikel-arikel di internet

C.        Tujuan Penulisan
            Tujuan dibuatnya makalah tentang Kewajiban memberi nafkah halal dan baik dan bekerja giat dan keseimbangan dunia akhirat diantaranya sebagai berkut:
1.      merupakan salah satu tugas kelompok yanag diberikan oleh dosen pembimbing.
2.      agar mahasiswa dan mahasiswi didik dapat  mengetahui dan memahami lebih jelas tentang konsep makanan halal dan bekerja giat sesuai dengan ajaran agama Islam
3.      Mahasiswa dapat mempelajari dari makalah ini dan kemudian menerapkannya dalam menjalani kehidupan bebangsa da bernegara.




















BAB II
PEMBAHASAN

A.     Memberi Nafkah Yang Baik
               Makanan yang halal dan thayyib, hal ini karena ulama ahli tafsir, misalnya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa keberkahan dari langit dan bumi sebagaimana yang disebutkan dalam firman surat Al A’raf: 96 di atas adalah rizki yang diantara rizki itu adalah makanan. Yang dimaksud makanan yang halal adalah disamping halal jenisnya juga halal dalam mendapatkannya, sehingga bagi orang yang diberkahi Allah, dia tidak akan menghalalkan segala cara dalam memperoleh nafkah. Di samping itu, makanan yang diberkahi juga adalah yang thayyib, yakni yang sehat dan bergizi sehingga makanan yang halal dan tayyib itu tidak hanya mengenyangkan tapi juga dapat menghasilkan tenaga yang kuat untuk selanjutnya dengan tenaga yang kuat itu digunakan untuk melaksanakan dan menegakkan nilai-nilai kebaikan sebagai bukti dari ketaqwaannya kepada Allah Swt, Allah berfirman yang artinya: Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah rizkikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya(QS         5:88).
   Namun demikian, seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anaknya dengan nafkah yang halal. Jika seorang anak (anak laki-laki) telah berusia baligh, maka ia diwajibkan menghidupi dan mengurusi dirinya sendiri. Sebab, ia telah menjadi seorang mukallaf yang diberi beban untuk melaksanakan seluruh perintah Allah secara mandiri, termasuk menafkahi dirinya sendiri. Akan tetapi, jika ia tidak mampu dan miskin, maka orang tua wajib memberi nafkah kepadanya.
Adapun jika ia adalah anak perempuan; maka kewajiban memberi nafkah orang tua gugur, jika anak wanita tersebut telah menikah. Nafkah yang diperoleh dari jalan yang sesuai dengan Al Quran. Allah SWT telah berfirman:
“Makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh.” (QS. Al Mu’munun: 51)
         Dalam ayat diatas kta diperintah untuk makan dari apa-apa yang baik saja. Mengenai apa-apa yang baik-baik itu dkatakan yakni apa-apa yang halal, sebab apa-apa yang haram tu tentulah tidaak baik namanya.
Allah SWT berfirman:
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni`mat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS. al-Nahl [16]: 114).
   Imam al-Baghawi, dalam tafsir al-Baghawiy, menyatakan, “Menurut ‘Abdullah ibn al-Mubarak, yang dimaksud halal adalah semua rejeki yang diperoleh berdasarkan tuntunan Allah SWT.” (al-Baghawi, Tafsír al-Baghawiy, juz 2, hal. 59; lihat juga Imam asy-Syaukani, Fath al-Qadír, juz 2, hal. 70).
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
Wahai manusia, sesungguhnya Allah tidak akan menerima sesuatu kecuali yang baik (thayyib), dan sesungguhnya Allah memerintahkan kaum mukmin sebagaimana halnya Ia memerintah para Rasul. Kemudian, Ia berfirman, ‘Wahai para Rasul, makanlah dari rejeki yang baik-baik, dan berbuat baiklah kalian. Sesungguhnya Aku Mengetahui apa yang engkau ketahui.’ Selanjutnya, beliau bercerita tentang seorang laki-laki yang berada di dalam perjalanan yang sangat panjang, hingga pakaiannya lusuh dan berdebu. Laki-laki itu lantas menengadahkan dua tangannya ke atas langit dan berdoa, ‘Ya Tuhanku, Ya Tuhanku…’, sementara itu makanan yang dimakannya adalah haram, minuman yang diminumnya adalah haram, dan pakaian yang dikenakannya adalah haram; dan ia diberi makanan dengan makanan-makanan yang haram. Lantas, bagaimana mungkin doanya dikabulkan?”(HR. Muslim)
            Dari seluruh uraian di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwasanya seseorang tidak boleh memberi nafkah keluarganya dengan nafkah yang haram. Sebaliknya, seorang muslim dilarang menerima dan mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh Allah swt. Atas dasar itu, seorang anak yang sudah akil baligh mesti menolak nafkah dari orang tua jika ia tahu bahwa nafkah tersebut berasal dari jalan yang haram; misalnya hasil hutang yang mengandung riba. Ia harus berusaha dengan dirinya sendiri, dan menjauhi mengkonsumsi barang-barang yang diharamkan oleh Allah SWT. Sebab, keberkahan hidup seseorang sangat tergantung dari makanan yang dimakannya. Namun jika ia tidak tahu bahwa nafkah yang diberikan orang tua tersebut berasal dari usaha haram, maka hukumnya dimaafkan.
Pada dasarnya, orang tua tidak boleh melibatkan diri dengan riba dengan alasan; kalau tidak pinjam di bank maka pendidikan anaknya akan ketinggalan, dan sebagainya. Jika ia tidak mampu menyekolahkan anaknya di pendidikan-pendidikan formal, ia bisa menempuh jalan lain dengan cara menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah yang murah dengan kualitas yang tidak rendah. Bisa juga ia mendidik anaknya untuk mandiri sejak kecil, hingga anak bisa menafkahi dirinya sendiri, dan berfikir secara mandiri. Masih banyak jalan yang bisa dilakukan agar anak tidak ketinggalan dalam pendidikannya. Yang jelas, orang tua tidak boleh menceburkan atau melibatkan dirinya dalam perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh syariat Islam. Jika orang tua menafkahi anaknya dengan jalan haram, sesungguhnya ia tidak sedang mencintai anaknya, akan tetapi justru menjerumuskan anaknya ke lembah ketidakberkahan.
   Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menekankan agar umatnya mencari harta yang halal. Karena harta Pasalnya, ada dua pertanyaan yang terarah berkaitan dengan harta itu, tentang asal harta dan bagaimana membela sesuai sabda nabi SAW
"Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat, sampai ia ditanya tentang empat perkara. (Yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang jasadnya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya darimana ia mendapatkannya dan kemanakah ia meletakkannya, dan tentang ilmunya, apakah yang telah ia amalkan". (HR At Tirmidzi dan Ad Darimi).
Ketiga, berkah dalam soal waktu yang cukup tersedia dan dimanfaatkannya untuk kebaikan, baik dalam bentuk mencari harta, memperluas ilmu maupun memperbanyak amal yang shaleh, karena itu Allah menganugerahi kepada kita waktu, baik siang maupun malam dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam setiap harinya, tapi bagi orang yang diberkahi Allah maka dia bisa memanfaatkan waktu yang 24 jam itu semaksimal mungkin sehingga pencapaian sesuatu yang baik ditempuh dengan penggunaan waktu yang efisien. Sudah begitu banyak manusia yang mengalami kerugian dalam hidup ini karena tidak bisa memanfaatkan waktu dengan baik, sementara salah satu karakteristik waktu adalah tidak akan bisa kembali lagi bila sudah berlalu, Allah berfirman yang artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS 103:1-3).
Karena itu, bagi seorang muslim yang diberkahi Allah, waktu digunakan untuk bisa membuktikan pengabdiannya kepada Allah Swt, meskipun dalam berbagai bentuk usaha yang berbeda, Allah berfirman yang artinya: “Demi malam apabila menutupi, dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (harta di jalan Allah) dan bertaqwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (92:1-7).

B.     Bekerja Giat dalam Konsep Islam
Kerja pada hakekatnya adalahnya manifestasi amal kebajikan. Sebagai sebuah amal, maka niat dalam menjalankannya akan menentukan penilaian. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya nilai amal itu ditentukan oleh niatnya.” Amal seseorang akan dinilai berdasar apa yang diniatkannya. Suatu hari Nabi Muhammad berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Nabi Muhammad melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. “Kenapa tanganmu?,” tanya Nabi kepada Sa’ad. “Wahai Rasulullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu Nabi mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka”.
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Nabi Muhammad. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya.” Mendengar itu Nabi pun menjawab, “Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabilillah.” (HR. Ath-Thabrani).
Kerja adalah perintah suci Allah kepada manusia. Meskipun akhirat lebih kekal daripada dunia, namun Allah tidak memerintahkan hambanya meninggalkan kerja untuk kebutuhan duniawi.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.” (QS. Al-Qashash: 77).
“Bukanlah orang yang paling baik darimu itu yang meninggalkan dunianya karena akhiratnya, dan tidak pula yang meninggalkan akhiratnya karena dunianya. Sebab, dunia itu penyampaian pada akhirat dan janganlah kamu menjadi beban atas manusia.” (HR. Ibnu ‘Asakir dari Anas).
Adanya siang dan malam dalam alam dunia ini, merupakan isyarat akan adanya kewajiban bekerja (pada siang hari).
“Dan Kami telah membuat waktu siang untuk mengusahakan suatu kehidupan.” (QS. An-Naba’: 11).
“Kami telah menjadikan untukmu semua di dalam bumi itu sebagai lapangan mengusahakan kehidupan. Tetapi sedikit sekali kamu berterima kasih,” (QS. Al-A’raf: 10).
“Apabila Telah ditunaikan shalat, maka menyebarlah di bumi dan carilah dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum’ah: 10).
Untuk memberikan motivasi dalam bekerja, Nabi Muhammad, menggunakan bahasa yang sangat mengunggah dan menyadarkan. “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya. Dan beramallah untuk akhiratmu, seolah-olah kamu akan mati besok.” (HR. Baihaqi).
Bekerja juga akan membuat manusia lebih merdeka, dengan tidak menggantungkan diri kepada orang lain, seperti dengan meminta-minta. “Demi, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, dengan bekerja itu Allah mencukupi kebutuhanmu, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain. (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah pernah ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan terbaik adalah usahanya seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perjualbelian yang dianggap baik” (HR. Ahmad, Baihaqi, dan lain-lain).
Islam juga menganjurkan untuk bekerja dengan sepenuh hati untuk memberikan kualitas hasil terbaik. Bahkan kerja keras yang ikhlas merupakan penghapus dosa. “Sebaik-baik pekerjaan ialah usahanya seorang pekerja jika ia berbuat sebaik-baiknya” (HR. Ahmad). “Siapa bekerja keras hingga lelah dari kerjanya, maka ia terampuni (dosanya) karenanya.” (Al-Hadist). “Berpagi-pagilah dalam mencari rezeki dan kebutuhan hidup. Sesungguhnya pagi-pagi itu mengandung berkah dan keberuntungan” (HR. Ibnu Adi dari Aisyah). “Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan kualitasnya” (Al-Hadist).
Bekerja tidak akan lepas dari bingkai hubungan sosial, karenanya aturan-aturan yang ada harus dipatuhi. Etika dalam bekerja tetap harus dijaga. “Carilah kebutuhan hidup dengan senantiasa menjaga harga diri. Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (HR. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).
Dalam konteks sosial (termasuk organisasional) bekerja adalah amanah. Amanah harus ditunaikan dengan baik. Pengabaian terhadap amanah adalah sebuah pengkhianatan yang merupakan salah satu tanda orang munafik.
Bekerja dengan sungguh-sungguh adalah syarat sebuah kemajuan. kemajuan yang didapat tanpa kerja keras adalah pengingkaransunnatullah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’d: 11). Dalam ayat lain diungkapkan “Dan bahwa seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.“ (QS. Al-Najm: 39).
Mari, dalam bekerja, kita luruskan niat, kuatkan motivasi, perhatikan etika dan aturan yang ada, sebagai upaya penuaian amanah yang merupakan syarat kemajuan.

C.       Etika Bekerja Dalam Islam
Dalam mewujudkan nilai-nilai ibadah dalam bekerja yang dilakukan oleh setiap insan, diperlukan adab dan etika yang membingkainya, sehingga nilai-nilai luhur tersebut tidak hilang sirna sia-sia. Diantara adab dan etika bekerja dalam Islam adalah :
1.      Bekerja dengan ikhlas karena Allah SWT.
Ini merupakan hal dan landasan terpenting bagi seorang yang bekerja. Artinya ketika bekerja, niatan utamanya adalah karena Allah SWT. Ia sadar, bahwa bekerja adalah kewejiban dari Allah yang harus dilakukan oleh setiap hamba. Ia faham bahwa memberikan nafkah kepada diri dan keluarga adalah kewajiban dari Allah. Ia pun mengetahui, bahwa hanya dengan bekerjalah ia dapat menunaikan kewajiban-kewajiban Islam yang lainnya, seperti zakat, infak dan shodaqah. Sehingga ia selalu memulai aktivitas pekerjaannya dengan dzikir kepada Allah.
2.      Itqon, tekun dan sungguh-sungguh dalam bekerja.
         Implementasi dari keikhlasan dalam bekerja adalah itqon (baca ; profesional) dalam pekerjaannya. Ia sadar bahwa kehadiran tepat pada waktunya, menyelesaikan apa yang sudah menjadi kewajibannya secara tuntas, tidak menunda-nunda pekerjaan, tidak mengabaikan pekerjaan, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari esensi bekerja itu sendiri yang merupakan ibadah kepada Allah SWT. Dalam sebuah hadits, riwayat Aisyah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja, dia itqan (baca ; menyempurnakan) pekerjaannya." (HR. Thabrani).
3.      Jujur dan amanah.
Etika lain dari bekerja dalam Islam adalah jujur dan amanah. Karena pada hakekatnya pekerjaan yang dilakukannya tersebut merupakan amanah, baik secara duniawi dari atasannya atau pemilik usaha, maupun secara duniawi dari Allah SWT yang akan dimintai pertanggung jawaban atas pekerjaan yang dilakukannya. Implementasi jujur dan amanah dalam bekerja diantaranya adalah dengan tidak mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, tidak curang, obyektif dalam menilai, dan sebagainya. Rasulullah SAW memberikan janji bagi orang yang jujur dan amanah akan masuk ke dalam surga bersama para shiddiqin dan syuhada'. Dalam hadits riwayat Imam Turmudzi : Dari Abu Said Al-Khudri ra, beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Pebisnis yang jujur lagi dipercaya (anamah) akan bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada'. 

4.      Menjaga etika sebagai seorang muslim.
         Bekerja juga harus memperhatikan adab dan etika sebagai seroang muslim, seperti etika dalam berbicara, menegur, berpakaian, bergaul, makan, minum, berhadapan dengan customer, rapat, dan sebagainya. Bahkan akhlak atau etika ini merupakan ciri kesempurnaan iman seorang mu'min. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan, "Orang mu'min yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya." (HR. Turmudzi). Dan dalam bekerja, seorang mu'min dituntut untuk bertutur kata yang sopan, bersikap yang bijak, makan dan minum sesuai dengan tuntunan Islam, berhadapan dengan customer dengan baik, rapat juga dengan sikap yang terpuji dan sebagainya yang menunjukkan jatidirinya sebagai seorang yang beriman. Bahkan dalam hadits yang lain Rasulullah SAW menggambarkan bahwa terdapat dua sifat yang tidak mungkin terkumpul dalam diri seorang mu'min, yaitu bakhil dan akhlak yang buruk.           (HR.Turmuji)
5.      Tidak melanggar prinsip-prinsip syariah.
Aspek lain dalam etika bekerja dalam Islam adalah tidak boleh melanggar prinsip-prinsip syariah dalam pekerjaan yang dilakukannya. Tidak melanggar prinsip syariah ini dapat dibagi menjadi beberapa hal, Pertama dari sisi dzat atau substansi dari pekerjaannya, seperti memporduksi barang yang haram, menyebarluaskan kefasadan (seperti pornografi dan permusuhan), riba, risywah dsb. Kedua dari sisi penunjang yang tidak terkait langsung dengan pekerjaan, seperti tidak menutup aurat, ikhtilat antara laki-laki dengan perempuan, membuat fitnah dalam persaingan dsb. Pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip syariah, selain mengakibatkan dosa dan menjadi tidak berkahnya harta, juga dapat menghilangkan pahala amal shaleh kita dalam bekerja. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlal kepada Rasul-Nya dan janganlah kalian membatalkan amal perbuatan/ pekerjaan kalian.." (QS. 47 : 33).



6.      Menghindari syubhat
Dalam bekerja terkadang seseorang dihadapkan dengan adanya syubhat atau sesuatu yang meragukan dan samar antara kehalalan dengan keharamannya. Seperti unsur-unsur pemberian dari pihak luar, yang terdapat indikasi adanya satu kepentingan terntentu. Atau seperti bekerja sama dengan pihak-pihak yang secara umum diketahui kedzliman atau pelanggarannya terhadap syariah. Dan syubhat semacam ini dapat berasal dari internal maupun eksternal. Oleh karena itulah, kita diminta hati-hati dalam kesyubhatan ini. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, "Halal itu jelas dan haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara-perkara yang syubhat. Maka barang siapa yang terjerumus dalam perkara yang syubhat, maka ia terjerumus pada yang diharamkan..." (HR. Muslim)
7.      Menjaga ukhuwah Islamiyah.
Aspek lain yang juga sangat penting diperhatikan adalah masalah ukhuwah islamiyah antara sesama muslim. Jangan sampai dalam bekerja atau berusaha melahirkan perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin. Rasulullah SAW sendiri mengemukakan tentang hal yang bersifat prefentif agar tidak merusak ukhuwah Islamiyah di kalangan kaum muslimin. Beliau mengemukakan, "Dan janganlah kalian menjual barang yang sudah dijual kepada saudara kalian" (HR. Muslim). Karena jika terjadi kontradiktif dari hadits di atas, tentu akan merenggangkan juga ukhuwah Islamiyah diantara mereka; saling curiga, su'udzon dsb. Karena masalah pekerjaan atau bisnis yang menghasilkan uang, akan sangat sensitif bagi palakunya. Kaum Anshar dan Muhajirin yang secara sifat, karakter, background dan pola pandangnya sangat berbeda telah memberikan contoh sangat positif bagi kita; yaitu ukhuwah islamiyah. Salah seorang sahabat Anshar bahkan mengatakan kepada Muhajirin, jika kamu mau, saya akan bagi dua seluruh kekayaan saya; rumah, harta, kendaraan, bahkan (yang sangat pribadipun direlakan), yaitu istri. Hal ini terjadi lantaran ukhuwah antara mereka yang demikian kokohnya.
D.     Keseimbangan Dunia Akhirat
   Allah SWT menciptakan kehidupan dunia adalah sebagai tempat mengusahakan bekal untuk kehidupan akhirat. Namun, dalam manusia mengarungi dunia tentu memerlukan kebutuhan pokok berupa pakaian, makan minum, rumah, kendaraan, hajatan dan sebagainya. Semua itu adalah keperluan hidup yang tidak mungkin diabaikan.
         Firman Allat Ta’ala :
 “ Dan tuntutlah dengan harta kekayaan yang telah dikurniakan Allah kepadamu akan
pahala dan kebahagiaan hari akhirat dan janganlah engkau melupakan bahagian-mu
(keperluan dan bekalanmu) dari dunia; dan berbuat baiklah (kepada hamba-hamba
Allah) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu (dengan pemberian nikmat-NYA yang
melimpah-limpah); dan janganlah engkau melakukan kerosakan di muka bumi;
sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Islam adalah agama yang memperseimbangkan antara tuntutan hidup di dunia dan tuntutan hidup di akhirat. Segala harta kurniaan Allah hendaklah digunakan dan diuruskan pada perkara-perkara kebaikan yang mendapat ganjaran di akhirat. Kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di akhirat tidak mungkin dapat dikecapi tanpa melakukan amalan-amalan baik ketika di dunia seperti menafkahkan harta di jalan Allah, menuntut ilmu di jalan Allah, mengeluarkan zakat, bersedekah dan sebagainya. Keseimbangan dunia dan akhirat akan mewujudkan umat Islam yang sentiasa memberi manfaat kepada sekalian manusia. Mengabaikan salah satu daripada tuntutan-tuntutan tersebut, bukan sahaja memusnahkan keharmonian dan kesejahteraan hidup manusia, malah mendatangkan kerusakan kepada diri sendiri.
Manusia tidak dianjurkan oleh Islam hanya mencari pengetahuan yang hanya berorientasi pada urusan akhirat saja. Akan tetapi, manusia diharapkan tidak melupakan pengetahuan tentang urusan dunia. Meskipun kehidupan dunia ini hanyalah sebuah permainan dan senda gurau belaka, atau hanyalah sebuah sandiwara raksasa yang diciptakan oleh Tuhan semesta alam. Namun, pada dasarnya manusia diharapkan mampu menjaga keseimbangan dirinya dalam menjalani realita kehidupan ini, termasuk dalam mencari pengetahuan.
         Kebaikan (hasanah) dalam bentuk apapun tanpa didasari ilmu, niscaya tidak akan terwujud. Baik berupa kebaikan duniawi yang berupa kesejahteraan, ketenteraman, kemakmuran dan lain sebagainya. Apalagi kebaikan di akhirat tidak akan tercapai tanpa adanya pengetahuan yang memadai. Karena segala bentuk keinginan dan cita-cita tidak akan terwujud tanpa adanya usaha dan pengetahuan untuk mencapai keinginan dan cita-cita itu sendiri.
         Jadi tuntutan dalam menunaikan keperluan hidup di dunia dan akhirat amat ditekankan dalam ajaran Islam. Hidup akan berkurang apabila tidak menuntut keduanya, jadi kita jangan sampai mengabaikan kedua hal tersebut dalam menjalani kehidupan ini.









































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DAKWAH BANJAR | هذا من فضل ربي